Dari Dupa di Makam, Dawet di Pasar: Riska, Ibu Nunung, dan Aku yang Tertinggal di Pusara [Karanganyar Tak Pernah Menjawab, Tapi Ibu di Kursi Sebelah Membuka jalanku Pulang]
Di Antara Pusara dan Pasar, Antara Kereta dan Doa
Ini bukanlah catatan sejarah. Bukan pula ziarah politik, apalagi laporan perjalanan. Bagiku Ini upaya diam-diam untuk menjahit luka yang tak pernah benar-benar sembuh, antara nama besar yang disingkirkan dan suara ibu yang tak henti memanggil pulang.
Di dalam kereta menuju Solo, yang kuharapkan bukan sekadar tiba di stasiun, tapi mungkin, bertemu dengan seseorang yang bisa memberiku arah. Entah itu seorang oppung yang dikuburkan dalam sunyi sejarah, atau seorang ibu yang duduk di kursi sebelah menyampaikan nasihat yang terdengar seperti restu.
Cerita ini adalah catatan patah dari perjalanan kecil yang tak diminta untuk disebut penting, tapi bagiku, ia adalah cara satu-satunya untuk pulang. Pulang pada sejarah yang ditinggalkan. Pulang pada Ibu. Pulang pada diri sendiri.
Malam itu, 22 Juli, lewat sedikit dari pukul delapan malam, aku mengirim pesan pada Riska, adikku tondi tondi ni abg. Hanya dengan satu kalimat pembuka,
“Kongg, besok ada acaramu nang?” Aku menyapanya seperti biasa, dengan panggilan yang hangat dan santai, seolah yang akan kuutarakan bukanlah hal penting. Tapi sebenarnya, dalam dadaku, sudah berdenyut rencana yang diam-diam kugenggam erat, ya ke Solo, untuk menemui sosok yang tak dikenal oleh banyak orang, namun ia tersimpan dalam sejarah yang pahit dan getir. Tak lama, balasan datang.
“Ga adaaa bangg… Mau ke mana bang?” Begitu katanya, dan dari percakapan ringan itu, mengalirlah niat yang kian menguat. Aku ingin ke Karanganyar, ke sebuah kompleks pemakaman yang tak terkenal, tak ramai, tak dipelihara. Di sana, seseorang sedang tidur panjang dalam sepi. Seseorang yang dahulu menggetarkan republik ini, dan kini hanya dikenang oleh rumput-rumput liar yang tumbuh tanpa henti. Tapi niat itu tak ku ceritakan pada Riska,
“Mau minta tolong kian kawani ke solo, naik kereta. tapi pulang malam nang.” Kataku
“Aku ikut, bang! Ayo lah! Mauuuu… Biar kuajak orang Miranda sama Joy”.
Lantas ku jelaskan, “Tapi bukan mau jalan-jalan aku nangg, ada yang mau ku temui di Karanganyar, jadi kalau mau kau ajak mereka, ga apa apa nanti kelian jalan-jalan aja dulu, nanti kita ketemu lagi setelah aku pulang dari Karanganyar, cuma sebentar kok nanti aku disana”.
“Ikut Bangg! Ga apa apa...”, Meyakinkanku.
Begitulah kiranya awal mula perjalanan ini digariskan. Tidak dengan surat keputusan dari Tuhan, bukan pula perintah dari sejarah, hanya sapaan ringan lewat layar yang memendarkan cahaya biru di antara sepinya malam, dan kesibukan kecil masing-masing kami yang pura-pura tidak kesepian. Aku bertanya, ia menjawab dengan tawa dan seru yang ditulis pakai huruf ganda. Ada sesuatu dalam cara adikku membalas, kekanak-kanakan, keleseh-lesehan, dan kehetel²an... dan dia seperti hendak menyampaikan bahwa yang kita butuhkan untuk hidup sebenarnya bukan tujuan, tapi teman seperjalanan yang bersedia duduk diam, dan melihat pemandangan keluar jendela bersama, meski tak tahu hendak ke mana sebenarnya hidup ini akan berbelok, begitulah adikku Riksa tondi tondikuu..
Riska, Miranda, dan Joy akhirnya menjadi penumpang kereta pagi bersama aku. Kereta berangkat dari Stasiun Tawang pukul 06.05 pagi, menembus kabut dan dingin yang perlahan menjauh dari kaca jendela. Aku duduk di kursi nomor dua puluh bersama Riska, adikku yang kadang cerewet tapi setia. Di seberang kami, Miranda dan Joy bercakap ringan sambil sesekali tertawa.
Dalam kereta, tak banyak yang bisa kulakukan selain berbincang tentang hidup, Aku berbicara pada adikku dengan suara yang nyaris tak terdengar, seolah jika kuucapkan lebih keras, luka-luka itu akan menjerit. Tentang hidup yang tak tumbuh, tentang karir yang belum jadi karir, tentang rumah yang berubah menjadi tempat yang jauh, keluarga yang ditinggal jarak, tentang langkah yang kutempuh entah ke mana. Aku bicara pada adikku, lebih banyak mengakui kegagalan daripada memberinya nasihat. Aku tak ingin berpura-pura menjadi pahlawan. Tak ada kisah yang pantas untuk diteladaninya dari perjalanan hidupku. Aku hanya seseorang yang masih mencari, kemana dan entah sampai kapan.
Dua jam perjalanan membawa kami tiba di Stasiun Solo Balapan. Kota ini terasa seperti potret masa lalu yang tak habis diceritakan, tenang, tua, namun masih bersolek untuk masa depan.
“Pesankanlah Go-car kita nangg… Mau langsung makan, kan?”
“Iya bang, udah lapar katanya si Miranda,” jawab Riska.
Kami menuju Sate Kambing Bu Bejo dekat Lodji Wetan. Disana ada sate buntel, sate kambing, tengkleng, dan percakapan hangat yang mengepul bersama uap nasi setengah porsi. Joy mulai gelisah pada kolesterolnya yang 180 mgr/dL, ia memesan jeruk nipis seperti seseorang yang baru menyesal mencintai jagal saksang dan panggang dipesta besar.
Setelah makan, kami berpisah. Mereka adik-adikku itu melanjutkan ke museum Tumurun dan Pasar Gedhe, sedang aku, menuju sunyi yang kupilih sendiri, Karanganyar, dengan gojek yang dikendarai Pak F.X. Mistanto, seorang Katolik yang pernah jadi prodiakon. Kami berbicara seperti dua orang tua yang lupa usia, tentang iman, tentang panggilan hidup, tentang sepi yang kadang lebih nyata dari keramaian.
Perjalanan gojek dari tempat makan menuju Karanganyar memakan waktu sekitar setengah jam. Jalanan lengang, matahari sudah naik, dan di sepanjang perjalanan aku dan driver gojekku Pak F.X Mistanto larut dalam perbincangan yang tak biasa. Lelaki yang berusia 58 tahun itu wajahnya tenang, bicaranya pelan, seperti seseorang yang sudah lama bersahabat dengan hening. Kami tak membahas hal-hal remeh. Kami bercerita tentang iman, tentang pencarian batin, tentang pengampunan dan panggilan hidup. Aku tak ingat dengan jelas siapa yang mulai bicara lebih dulu, tapi obrolan kami tumbuh seperti tanaman liar yang tak bisa dihentikan jujur, pelan, dan panjang.
Tiba-tiba, kami sampai. Sebuah kompleks pemakaman di pinggiran kota Karanganyar bukan daerah pelosok, tapi terlupakan. Semak liar tumbuh tinggi. Gerbangnya setengah terbuka, seolah tak lagi ditutup oleh siapa pun. Tanah itu diam, seperti menahan nafas puluhan tahun. Pak Fransiskus melirikku dari kaca spion, katanya,
“Mas, jenengan beneran di sini?”
“Iya, Pak. Saya memang ke sini.” Jawabku yakin.
Ia tampak ragu. “Makam siapa, Mas? Kok orang Medan jauh banget dimakamkan di sini?”
Aku mengangguk pelan. “Saudara, Pak. Saudara jauh saya.”
Ia masih tak yakin.
“Mas, apa ndak sekalian tak tungguin aja? Takutnya ntar susah dapat driver lagi.”
Aku tersenyum. Menahan haru.
“Terima kasih, Pak… Tapi ndak usah. Biar Bapak cari penumpang lain, saya nggak enak kalau kelamaan.”
Aku turun. Menatap gerbang karat yang dibiarkan setengah terbuka. Di dalam, rerumputan dan ilalang seperti berdiri menyambutku. Aku melangkah masuk. Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bersih disana. Aku menyusuri barisan makam tanpa nama, dan di ujung sana aku melihat beberapa makam yang dibangun seperti rumah kecil. Di antaranya, satu makam berdiri tenang dengan bendera merah putih. Pejuang. Tapi bukan itu yang kucari. Aku berjalan ke sisi lain. Di antara sekitar sepuluh makam yang bentuknya sama, tanpa nisan, tanpa nama, akhirnya aku menemukannya. Hanya satu tulisan sederhana,
“Rest in Peace Mr. Amir Syarifuddin.”
Aku berdiri terpaku. Jantungku berdetak pelan. Aku tak percaya. Oppung Amir Syarifuddin Harahap. Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Perdana Menteri ke 2. Pejuang. Kristen. Orang Batak. Dimakamkan di sini. Tanpa nisan pahlawan. Tanpa gelar. Tanpa bendera. Tanpa penghormatan.
Aku membuka tas. Mengeluarkan tujuh batang dupa yang sudah kusiapkan dari Semarang. Tak sempat membawa bunga, tapi ini yang bisa kuberikan. Aku menyalakan tujuh batang dupa. Ini bukan karena tradisi, tapi karena itu yang bisa kulakukan sebagai bentuk ziarah kepada seseorang yang sepanjang hidupnya menyalakan keyakinan, dan padam dalam sunyi. Kupasang dupa itu, satu per satu, dan kuhidupkan dengan korek kecil yang kupinjam dari warung ibu sukarti semalam. Asapnya naik pelan. Lambat. Lirih. Bak doa yang malu-malu meminta di depan altar suci. Aku berdiri menghadap pusara itu. Lalu duduk perlahan. Bersila. Mengamati, menunduk, lalu menatap langit. Diam. Lalu… aku mulai bicara. Meratapi makam yang kesepian itu.
“Pung… Aku datang. Ini aku, aku yang tak pernah kau kenal. Yang tak pernah kau jumpai. Tapi aku merasa harus datang. Harus bertanya. Harus mendengarkan.”
“Apa yang membuatmu diperlakukan seperti ini, Pung? Apa salahmu?”
Aku bertanya seperti orang bodoh. Seperti anak kecil yang tak mengerti permainan kekuasaan.
“Oppung… katanya kau pemberontak. Katanya kau pengkhianat. Tapi kenapa tak satu pun mereka bisa menuliskan dengan jernih siapa sebenarnya dirimu?” Aku menghela napas.
“Begini ya, Pung… Orang-orang menuliskanmu dengan nada yang campur aduk. Mereka menuliskanmu sebagai seorang menteri, pejuang kemerdekaan, tapi juga sebagai pemberontak dan pengkhianat. Lalu semuanya selesai begitu saja. Tidak ada pengadilan. Tidak ada kesempatan membela diri. Tidak ada upacara pemakaman. Hanya peluru... Tanah... Dan lupa.” Air mataku jatuh. Tak tertahan.
”Katanya kau sudah memeluk agama Kristen sampai akhir hayatmu. Kau setia. Di tengah gelombang besar yang hendak menenggelamkan keyakinanmu, kau tetap setia. Kesetiaan yang sama juga kau gunakan bagi negeri ini...Dari semua kesetiaanmu pada Tanah ini. Lalu apa balasannya? Satu batu marmer kecil tanpa nama besar. Dan semak liar yang menutupi tubuhmu.”
“Pung… apa sebenarnya yang terjadi denganmu? Apa yang sebenarnya kau perjuangkan? Kenapa jalan hidupmu begitu menyakitkan?”
“...Aku membaca riwayat hidupmu. Tentang masa kecilmu. Tentang perjalananmu dari Medan ke Jakarta. Tentang peranmu dalam kemerdekaan. Tentang kabinetmu. Tentang bagaimana kau jatuh. Lalu tentang penembakan itu. Tahun 1948. Aku membacakan semua catatan itu dengan suara gemetar. Begitulah, Pung… yang orang-orang tuliskan tentangmu.”
Aku diam sejenak. Lalu bercerita tentang diriku.
“Oppung, aku bukan siapa-siapa. Aku masih pengangguran. Masih bingung dengan arah hidupku. Akupun hanya pendongeng miskin. Tak punya suara untuk didengarkan. Bahkan kalimat manis pun tak kupunya.”
“Tapi pungg... entah kenapa aku pengen kali datang kesini. Ingin bertemu. Ingin mendengar jawaban yang barangkali hanya ada di dalam hatiku sendiri.”
Aku memandang makam itu. Tak ada tanda istimewa. Tak ada sesiapa yang datang.Hanya aku. Dan beliau. Dan langit biru yang diam, kemudian ku daraskan doa bagi kedamaian jiwanya. Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana. Tapi setelah semua kurasa cukup, aku berkata pelan, dengan air mata yang masih mengalir,
“Manghorasi ma, sahalam...”
Aku berdiri. Membereskan dupa dan barang-barangku. Memandang makam itu untuk terakhir kali. Lalu pergi. Meninggalkan satu pusara yang seharusnya menjadi tugu nasional, tapi dibiarkan menjadi bagian dari semak-semak yang dilupakan. Aku meninggalkan nisan usang yang tanpa kebesarannya itu, oppung bersemayam diantara mereka yang tempo dulu dieksekusi tanpa sebuah pengadilan. Dalam kesepiannya, dalam ketidakpantasan yang diterimanya, dan kisahnya dikubur bersama dengan jasadnya yang menyatu dengan bumi.
Aku tahu, hatiku masih tertinggal di sana. Tertinggal di antara nisan-nisan tanpa nama. Tertinggal bersama tokoh besar yang terkubur bersama ingatan kolektif yang pura-pura lupa. Dan aku, yang datang dengan setangkai doa dan tujuh batang dupa, kembali ke Solo… membawa kisah yang tak akan kubiarkan hilang begitu saja.
Setelah dari pusara itu… aku berjalan, atau mungkin lebih tepatnya, digiring oleh waktu yang pelan-pelan menyeret kaki ini ke Solo. Kami bertemu di Pasar Gedhe Solo, aku dan adik-adikku, Lalu, seperti semacam kesepakatan tanpa suara, kami menyusuri lorong pasar yang riuh, menyentuh rasa dan waktu yang kami tak pernah punya kesempatan untuk mencicipinya saat kecil dulu. Ada sate kere yang berasap menggoda, ada dawet telasih yang tak kami kenali namanya, ada serabi Notosuman yang masih hangat, dan entah apa lagi. Kami makan, dan kami coba beberapa kuliner yang ditawarkan di pasar itu.
Hatiku masih tertinggal di pusara itu, bersama sebentuk doa yang tak pernah selesai, dan nama yang kutanam dalam diam. Pukul lima sore, setelah perut kami lelah dipenuhi nostalgia dan dimsam pilihan si Riska, kami menuju Stasiun Solo Balapan, stasiun yang katanya pernah dinyanyikan Didi Kempot dengan penuh rindu. Tapi sore itu, lagu-lagu tak sempat kudengar, karena seluruh musik sedang berdetak di dalam dada.
Kereta datang tepat waktu. Kami naik. Dan seperti takdir kecil yang sering dijadikan bahan renungan oleh penyair tua, aku sekursi dengan seorang perempuan berkerudung sederhana, wajahnya penuh garis, tapi matanya tenang seperti kolam di hutan yang tak pernah dijamah.
“Mas turun di Semarang juga?” tanyanya ramah. Aku mengangguk, “Iya, Bu. Ibu juga?”
“Iya mas,” jawabnya pelan.
Namanya Ibu Nunung. Umurnya lima puluh delapan. Ia bercerita tanpa ditanya panjang-panjang, mungkin karena ada sesuatu dalam wajahku yang membuatnya yakin bahwa aku aman untuk dijadikan tempat bercerita. Atau mungkin, memang perempuan seusia beliau, tak lagi butuh alasan untuk membuka hati.
Suaminya sudah lama pergi, dua puluh tahun lalu. Sejak itu, katanya, “Aku mas, jualan kue basah, kue kering, kadang bikin jenang, kadang bikin onde-onde…apa aja lah mas, asal bisa dititipin ke warung, bisa buat nyekolahin anak.”
Tiga anaknya sudah sarjana. “Yang bungsu masih kuliah semester enam mas, Alhamdulillah ya…” Suara beliau nyaris pecah karena keteguhan yang sudah terlalu lama dibungkam. Aku tak banyak menyela. Hanya mendengarkan, dan mencatat di dalam dada, ini suara ibu yang sesungguhnya, bukan yang sering terdengar di seminar parenting atau di poster-poster iklan susu formula. Lalu beliau bertanya, “Mas kok belum pulang ke Medan?”
Aku tersenyum, mungkin getir, mungkin malu. Aku lalu menjelaskan semuanya, tentang mengapa aku memilih tetap di Semarang, tentang masalah pekerjaan yang belum selesai, tentang hidup yang belum utuh, tentang rindu yang kadang tak tahu rumahnya. Dan setelah aku bicara panjang, Ibu Nunung menatapku dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan yang sudah lama berdamai dengan luka.
Katanya pelan,
“Mas…ibu seusia saya tuh nggak pengen apa-apa lagi. Ndak butuh dibelikan mobil, ndak butuh dikasih duit, cuma pengennya itu… anak-anak hidup rukun. Rukun sama saudaranya, rukun sama pasangannya. Nggak bertengkar, nggak iri-irian. Kalau udah lihat anak-anak rukun gitu…rasanya tuh mas… kayak ndak ada yang kurang lagi.”
Aku menunduk, menelan kata-kata itu dalam napas yang tertahan. Langit di luar jendela kereta pelan-pelan berubah warna. Seperti restu yang tak diucapkan, terasa hangat menyusupi seluruh tulang. Aku berpikir, barangkali Ibu Nunung adalah stasiun rahasia yang disiapkan sang maha pendengar di tengah perjalananku, tempat untuk turun sejenak dari hiruk-pikuk ambisi, untuk mendengar kembali suara-suara sunyi dari hati seorang ibu.
Kereta terus melaju. Lalu tiba-tiba aku rindu. Pada ibuku, pada tanah kelahiran yang lama kutinggalkan, pada malam-malam di mana suara masakan ibu menyambutku di meja kayu yang kini mungkin sudah lapuk. Dan pada semua hal yang tak pernah kuminta untuk menjadi kenangan.
Sampai di Semarang. Kami turun. Aku dan Ibu Nunung saling mengangguk dan berpamitan. Tak ada pelukan, tak ada kontak telepon untuk saling menghubungi lagi, tapi aku tahu, beliau akan terus hidup dalam kalimat-kalimatku. Dalam cara aku menatap orang tuaku, dalam cara aku menulis doa tanpa suara. Hari itu, aku belajar, bahwa di antara kota dan kereta, di antara pasar dan pusara, selalu ada ibu dalam wujud apa pun. Yang datang bukan untuk mengubah jalan hidup kita, tapi cukup dengan duduk di sebelah, dan menunjukkan arah pulang yang sebenarnya. Dan malam pun tumbuh diam diatas biara murti tempat kepulanganku, gelapnya seperti lengan ibu yang memeluk dari kejauhan.
Begitulah ceritaku ini ditutup. Aku meninggalkan Solo sebagai seseorang yang lebih bisa diam. Karena yang kutemui di antara makam dan percakapan ibu di kereta bukan hanya soal kebenaran, melainkan keberanian untuk terus berjalan meski tak semua hal sempat dijelaskan. Dan di tengah dunia yang terburu-buru melupakan, aku memilih mengingat dengan dupa, dengan cerita, dengan langkah pulang yang tak sempurna. Karena mungkin, pulang pun tak selalu harus tiba, bisa pula cukup ditemukan di tengah perjalanan, saat seseorang memanggilmu nak, dan yang tak harus saling berbagi nama.
Poltak pendongeng miskin
Komentar
Posting Komentar