Anggi boru Payung Part TERAKHIR : Tamat

Beginilah catatan dari seorang yang kalah, kalah melawan waktu, kalah mempertahankan cinta, dan hampir kalah melawan dirinya sendiri. Saat hari-hari ketika aku merasa hidup ini bukan lagi sesuatu yang mesti diperjuangkan dengan gairah, hanya sekadar dijalani dengan tenaga yang tersisa, aku bagaikan seorang pengembara yang kehilangan arah di tengah padang tandus, berjalan hanya karena kaki masih bisa melangkah, tanpa tahu kemana tujuan akhirnya. Tulisan ini bukan untuk mencari simpati dari siapa pun, bukan pula untuk menegakkan kepalaku di hadapan dunia dan berkata bahwa aku tabah, sebab kenyataannya tidak demikian. Aku menulis semata-mata agar aku sendiri tidak lenyap ditelan sunyi yang setiap malam datang dan mencengkeram dadaku, agar aku masih bisa mendengar suaraku sendiri di tengah riuh dunia yang terasa semakin jauh. Karena jika aku berhenti menulis, jika aku berhenti menumpahkan segala yang menyesakkan di dada ke dalam kata-kata, barangkali aku benar-benar sudah mati jauh sebelum kematian itu sendiri menjemput tubuhku, mati dengan cara yang pelan, sepi, dan tidak seorang pun menyadarinya.

Sisa-Sisa Diriku di Tengah Kehampaan

Hidupku kini seperti sebuah ruangan kosong. Dindingnya dingin, lantainya retak, dan di sudut-sudutnya hanya ada gema dari langkahku sendiri. Lampu sudah lama padam, yang tertinggal hanya samar-samar cahaya entah dari mana. Aku berjalan di dalamnya tanpa arah, membawa tubuh yang lelah dan hati yang sudah terlalu sering dihempaskan. Aku tidak lagi berteriak, tidak pula menangis, aku hanya diam. Kehampaan ini telah merenggut segala gairah untuk membuka hati pada siapa pun. Rasanya seolah seluruh tenagaku sudah habis tercurah pada satu nama, dan setelahnya, aku hanyalah tubuh kosong yang tersisa.

Aku masih mengingat masa ketika hidupku berdenyut karena senyumnya. Ia bukan hanya perempuan, ia adalah rumah. Jalan-jalan sepi pernah hidup kembali hanya karena ia duduk di belakangku, memeluk pinggangku di atas motor tua. Percakapan sederhana di sore hari menjadi doa-doa kecil yang meneguhkan langkahku. Dan bahkan ketika kami diam, keheningan itu bukanlah sunyi, melainkan pelukan yang tak terucap. Aku mencintainya dengan caraku yang sederhana, meski mungkin caraku itu tidak cukup untuk menahannya tetap tinggal.

Tapi cinta, seperti api, bisa mati bukan karena disiram hujan deras, bisa saja karena dibiarkan terlalu lama tanpa bahan yang dibakar. Dia pergi bukan dengan amarah, apalagi dengan pertengkaran, melainkan dengan diam. Sunyi yang memanjang, menjelma menjadi jurang yang memisahkan kami. Hingga pada akhirnya aku sadar, ia sudah melangkah jauh tanpa menoleh lagi. Dan aku tertinggal di peron stasiun yang sepi, hanya ditemani bayangannya yang kian pudar. Sekarang, yang tersisa hanyalah serpihan sebaris doa yang tak pernah sampai, maaf yang menggantung, dan kenangan yang menolak lupa.

Belakangan ini aku sering melihat cermin, mengamati dan mencari siapa diriku setelah kehilangan itu. Aku tahu aku bukan lagi orang yang sama. Sebagian diriku ikut pergi bersamanya, meninggalkan celah yang tak bisa kutambal. Tapi di balik kehampaan ini, aku menemukan sesuatu yang aneh, masih ada sisa-sisa diriku yang bertahan. Sisa yang membuatku tetap bisa menulis, tetap bisa merenung, tetap bisa menatap hari esok meski tanpa rasa. Kehampaan ini ternyata bukan sekadar kehilangan, melainkan juga ruang kosong, ruang yang mungkin suatu hari bisa kembali diisi, meski aku tak tahu oleh apa.

Aku tidak terburu-buru mencari pengganti, hatiku belum siap. Energi yang dulu penuh sudah habis, dan aku tak ingin berpura-pura. Jadi aku memilih beristirahat, belajar menemukan penghiburan dari hal-hal kecil, secangkir jahe hangat di malam yang dingin, doa lirih di antara bantal dan sepi, atau tulisan-tulisan yang kutorehkan hanya untuk meyakinkan diri bahwa aku masih ada, atau juga sekadar tertawa dan duduk diantara adik-adikku yang lucu dan menggemaskan. Ya begitulah, kurasa aku ini seperti tanah kering, dan hujan belum datang membasahinya. Tapi tanah kering tetap menyimpan harapan, ia tahu suatu hari akan ada tetes air yang jatuh, dan saat itu ia akan kembali hidup.

Aku tidak berjanji akan segera bangkit. Tidak... Aku terlalu lelah untuk membuat janji besar. Aku hanya berjanji untuk menghargai sisa-sisa diriku yang masih bertahan. Bara kecil di dalam dada ini cukup untuk menjadi tanda bahwa aku belum benar-benar padam. Dan mungkin, entah kapan, aku akan kembali belajar hidup. Bukan karena dia, bukan karena siapa pun melainkan karena aku. 

Malam-malam belakangan ini aku tidak lagi merasa tercekik oleh sepi. Dulu ia seperti monster yang siap melahapku, sekarang ia hanya duduk di sudut kamar, menatapku dengan mata teduh. Kadang aku bahkan merasa sepi itulah sahabatku yang selalu setia, ketika semua pergi. Bahkan ketika hari-hariku masih berjalan lambat, umpama jarum jam yang enggan beranjak. Aku pengangguran, dan itu tidak sekadar status, melainkan juga luka yang terasa di dalam dada. Dunia ini seolah berlalu begitu cepat, orang-orang berlari mengejar rezeki, sementara aku hanya berdiri di tepi jalan, menatap dari jauh, dengan tangan kosong. Sipata aku merasa seperti penonton dalam sebuah drama besar yang tak pernah memberiku peran. Bukan karena aku tak mau berperan, nyatanya panggung itu seolah-olah sudah penuh dan kursiku dicabut begitu saja.

Yang paling pahit ketika setiap pagi aku bangun tanpa rencana, tanpa panggilan, tanpa kepastian. Baju rapi tergantung di almari, tapi tak pernah kupakai ke mana pun. Hanya untuk gereja di hari Minggu, itu pun lebih sering terasa sebagai tanda kesopanan daripada tanda sukacita. Dan di balik senyum yang kutampilkan di hadapan orang-orang, tersimpan perasaan yang sulit kuungkapkan, tentang betapa kecilnya aku di hadapan hidup ini, betapa pahitnya kurasa dipecundangi kenyataan.

Aku sering bertanya pada Tuhan, kenapa jalan ini yang harus kutempuh? Tapi Ia tetap diam. Diam yang panjang, menekan, membuatku merasa semakin sendiri. Hingga akhirnya aku pun ikut diam. Kalau Tuhan memilih tidak berkata-kata, mungkin aku pun harus belajar berdiam. Maka ku putuskan untuk duduk di tanah, di tempat paling rendah, tanpa gengsi, tanpa topeng. Di situlah aku menemukan sesuatu yang tak pernah kudapatkan dari keramaian, suara lirih yang tak datang dari langit, tapi dari jantungku sendiri. Bukan suara yang menjanjikan jawaban, tetapi suara yang sekadar berkata, “Aku masih di sini, bersama denyutmu.” Dan entah mengapa, itu cukup untuk membuatku bertahan. Aku duduk lama di tanah itu, merasakan dinginnya debu yang menempel di telapak tanganku, mendengar langkah orang-orang yang melintas tanpa menoleh. Di titik itulah aku sadar, mungkin Tuhan tidak selalu berbicara dalam kata. Barangkali Ia hadir justru dalam hening, dalam napas yang masih keluar masuk, dalam darah yang tetap mengalir meski aku sudah kehilangan banyak hal.

Ada pula kalanya aku cemburu pada mereka yang mendengar Tuhan lewat mujizat, lewat pintu yang terbuka, lewat rezeki yang datang tiba-tiba. Tapi bagiku, Tuhan hadir dengan cara lain, lewat kesunyian yang mengajari aku bertahan. Lewat kehampaan yang menuntunku untuk menerima, bahwa hidup tidak selalu berisi kemenangan. Bahwa kadang, justru di tanah yang paling rendah, aku bisa menemukan-Nya paling dekat. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan duduk di sini, di tanah ini, di dalam kehampaan ini. Tapi aku percaya, diam pun bisa menjadi doa. Dan doa yang paling jujur bukanlah serangkaian kata yang indah, melainkan sekadar keberanian untuk tetap duduk, tetap bernapas, tetap mendengar, meski dengan dada yang hampa. Karena di balik diamku, ada bisikan samar,  bahwa aku belum sepenuhnya ditinggalkan. 

Dalam diam dan keheningan itu, sebenarnya sudah hampir menenangkan, seandainya tidak ada nama yang masih mengendap di dadaku, ya nama Anggi. Di balik doa-doaku yang kering, aku tahu, ia adalah luka yang belum selesai kuterima. Lalu di antara doa yang tak berjawab itu, aku mendengar lagi gema langkahnya. Ia datang sebagai kenangan terakhir yang harus kurelakan. Dan di sinilah aku mulai menulis baris terakhir tentangnya. 

Nova Anggriyani Sipayung. Nama itu menempel seperti bekas luka yang tidak bisa hilang, malaupun sudah kubasuh dengan doa dan waktu. Dulu, saat di mana aku menaruh seluruh hidupku padanya, rasanya seperti menaruh sisa api di musim dingin. Aku menulis doa-doaku dengan wajahnya, menenun mimpi dengan suaranya, bahkan mengukur detak jantungku dengan kehadirannya. Aku pernah percaya, bila ia tetap ada, aku akan selamat dari kehampaan ini. Tapi aku harus belajar, dengan cara paling getir, bahwa ada orang-orang yang hanya mampir sebentar untuk membuat kita berharap. Tidak semua yang kita cintai akan tinggal. Tidak semua yang kita genggam akan menjadi milik kita. Ada orang-orang yang datang hanya untuk mengajari kita bagaimana rasanya kehilangan. 

Jujur saja, aku pernah menulis rencana-rencana kecil tentang hidup dengannya, tentang rumah sederhana di lembah yang sunyi, tentang senyum Anggi di pintu saat aku pulang, tawa anak-anak di halaman yang basah oleh hujan sore. Semua itu kini terasa seperti kebohongan yang kuciptakan sendiri, dan aku terjebak di dalamnya. Aku pernah percaya, ia akan menjadi musim semi yang menutup musim dinginku. Tapi kenyataan berkata lain. Ternyata aku harus menerima bahwa Anggi bukanlah rumah yang kucari, melainkan jalan yang hanya kulalui sebentar.

Aku masih sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa semua yang kusimpan dengan hati-hati harus hancur begitu saja. Mengapa doa-doa yang kutulis dengan air mata tidak pernah sampai. Mengapa Tuhan memilih diam, saat aku berteriak meminta-Nya untuk menjaganya tetap di sisiku. Semua yang kutaruh padanya kini kembali padaku dalam bentuk kehampaan. Dan kehampaan itu menelan malamku, menelan siangku, menelan bahkan kata-kata yang kucoba tuliskan. 

Tapi aku tahu, ada saat di mana harus berhenti memohon. Dan inilah saatnya. Maka biarlah ini menjadi baris terakhir tentang Anggi. Tidak akan ada lagi bab yang menyinggung namanya, aku menyadari, terlalu lama menggenggam abu hanya akan membuat tanganku penuh luka. Anggi adalah senja terakhir. Dan aku, dengan hati yang remuk dan kepala yang berat, memilih berjalan ke arah malam. Mungkin nanti, entah kapan, akan ada pagi. Tapi pagi itu tidak lagi tentang Anggi.

Selamat baya gikk, semoga kau bahagia dengan ambia itu. Kisahmu selesai di sini. 



Biara Murti, august 2025




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Anggii boru payung Part II | MAAF 🙏