Mamakku dan Tintin Bolah Rotannya
Setiap keluarga pasti ada menyimpan kisah yang tak pernah dicatat dalam buku sejarah, mungkin diwariskan dalam bisik-bisik, dalam obrolan di meja makan, atau dalam ingatan yang tak lekang oleh waktu. Kisah cinta ibu dan bapak saya adalah salah satunya, sebuah cerita tentang janji yang terikat pada seutas cincin, tentang hati yang patah, tentang keberanian untuk memilih, dan tentang restu yang akhirnya memenangkan cinta.
Tidak ada yang lebih getir daripada cinta yang dikhianati janji, dan tidak ada yang lebih indah daripada cinta yang berani diperjuangkan. Kisah ini adalah tentang keduanya, tentang seorang pemuda bermarga Purba yang harus menelan kepedihan, tentang sebuah cincin yang kembali tanpa makna, dan tentang seorang ayah yang datang dari jauh untuk membuktikan ketulusan hatinya. Dari luka, lahirlah restu. Dari perpisahan, lahirlah keluarga.
Jadi beginilah kisahnya ku tuliskan, itu bukan hanya tentang cinta ibu dan bapak saya, tetapi juga tentang bagaimana aku bisa ada di dunia. Karena itu, benarlah sudah bahwa di balik setiap pertemuan ada perpisahan, di balik setiap keputusan ada hati yang dikorbankan. Dan dalam keluarga kami, semuanya berawal dari sebuah cincin yang dikembalikan.
Cincin yang Dikembalikan [Tintin Bolah Rotan]
Peristiwa ini sekitar awal tahun 1985-an, di sebuah desa kecil bernama Sindaraya, Kecamatan Raya Kahean, Simalungun, ada seorang gadis muda yang kelak akan menjadi ibu saya. Desa itu terpencil, agak jauh dari kota, dikelilingi kebun dan ladang, dengan jalan-jalan setapak yang masih dikuasai tanah merah dan rerumputan. Di tengah desa itu berdiri gereja GKPS Sindaraya yang megah, menjadi pusat dari denyut kehidupan warganya.
Tak jauh dari rumah ibu, kira-kira hanya terpaut tujuh rumah, tinggal seorang pemuda bermarga Purba. Keduanya tumbuh di desa yang sama, dengan jarak yang terlalu dekat untuk tidak saling mengenal. Dari kecil hingga remaja, pertemuan mereka begitu wajar, di jalan menuju gereja, di pesta adat, di ladang, atau sekadar di jalan-jalan kecil tempat anak-anak desa bermain. Dari kedekatan itu, pelan-pelan tumbuhlah rasa yang lebih dalam. Si Purba jatuh hati pada ibu. Dan ibu saya, dalam usia mudanya, merasakan getar yang sama. Pada suatu masa, ia menerima sebuah cincin darinya. Bukan cincin mewah, hanya logam sederhana, tetapi di dalam lingkarannya terkandung sebuah janji, bahwa mereka kelak akan berjalan bersama menuju masa depan. Cincin itu disematkan di jari, dan di hati tumbuh keyakinan bahwa ia adalah lambang kesetiaan.
Tapi hidup selalu punya cara menggoyahkan rencana manusia. Setelah menyelesaikan pendidikan, ibu sempat mengajar di Raya Kahean Simalungun, tetapi hanya sebentar. Ia kemudian menerima tawaran mengajar di tanah jauh, Kandis, Provinsi Riau. Merantau adalah keputusan besar, tetapi juga tak terhindarkan. Sebelum berangkat, si Purba sempat diliputi cemas. “Sonaha ma holi hita lo dek, anggo pala misir ma ham daoh?” tanyanya. Dari kegelisahan itu, janji diteguhkan kembali, cincin diberi, seolah menjadi jaminan agar cinta mereka bertahan meski jarak memisahkan. Ibu saya pun berangkat, membawa serta cincin itu ke tanah rantau.
Di Kandis, ia bekerja sebagai guru agama di sekolah Imvomas, sebuah sekolah yang konon milik Soeharto. Sesekali, di hari libur, ia berkunjung ke rumah seorang kerabatnya, perempuan yang kini kami sebut Opung Betty, yang tinggal di kompleks perumahan perusahaan PT ADE di Duri. Dan di situlah takdir mempertemukannya dengan Bapak saya. Rumah bapak bertetangga dengan rumah Opung Betty. Dari kejauhan, bapak kerap kali memperhatikan rombongan tamu yang datang, salah satunya ibu saya. Ada yang aneh dalam penglihatannya, ia melihat perempuan itu berbicara dengan bahasa yang asing di telinganya, ya bahasa Simalungun, lembut, mendayu, berbeda dari yang biasa ia dengar. Entah mengapa, dalam hati kecilnya ada getaran yang lain.
Bapak bukanlah lelaki yang banyak harta. Ia anak bungsu dari enam bersaudara di Samosir, dibesarkan dalam kesederhanaan, bahkan dalam kesulitan. Tetapi ia punya sesuatu yang bisa memikat, musik. Ia pandai bermain gitar, pandai bernyanyi, dan di situlah ia mulai berusaha menaruh perhatian. Selain itu, bapak saya juga seorang yang pekerja keras, ulet, tekun dan gigih. Dengan kesederhanaan yang dimiliki, ia mencoba mengambil hati.
Singkatnya hari-hari berjalan. Pertemuan demi pertemuan di rumah Opung Betty membuat mereka semakin akrab. Hanya dalam dua bulan perkenalan, Bapak memberanikan diri berkata bahwa ia ingin serius. Ia ingin menikahi ibu saya. Ibu tidak menolak. Tetapi ia meletakkan syarat, “Kalau abang sungguh-sungguh, mari ke kampungku. Temui orangtuaku. Tunjukkan niatmu.” Sementara itu, cincin dari si Purba masih disimpan. Namun hati seorang perempuan, sekali terbuka, sulit kembali menutup. Perlahan, janji lama itu mulai redup.
Maka berangkatlah mereka berdua ke Sindaraya, Simalungun. Keluarga di kampung kaget, siapa lelaki Toba ini, datang tiba-tiba dengan maksud besar? Namun bapak tak gentar. Ia tinggal hampir sepuluh hari di rumah Oppung, mencoba akrab, berdiskusi, berbagi cerita tentang kehidupannya. Keluarga melihat, menimbang, sekaligus ragu, perbedaan budaya dan bahasa jelas terasa. Simalungun dan Toba tak selalu mudah bersatu.
Di sisi lain, kabar kepulangan ibu dengan seorang lelaki membuat si Purba gelisah. Ia marah, kecewa, merasa dikhianati. Ia datang mencaci, menghujat di depan rumah keluarga ibu saya. Amarahnya tak terkendali. Sampai-sampai, kakak ibu saya mengacungkan torjang, pisau simalungun sambil berkata, “Purba, apanya maksudmu itu, mambaen lutu ho ijin!” Nyaris saja pertikaian berubah menjadi darah. Tetapi keluarga menahan. Dan pada akhirnya, ibu menyerahkan kembali cincin itu.
Seketika dunia si Purba runtuh. Bayangan tentang hidup bersama, yang ia ikatkan pada seutas cincin, hancur berkeping. Amarahnya hanya tirai bagi hatinya yang patah. “Parsuma do ham guru agama!!, i tokohi ham do au hape, soyama ganup bujur hai”. Begitulah ungkapan kekecewaan lelaki itu kepada ibu.
Pedih pada luka-luka tertentu tidak selalu harus berdarah, tetapi terasa seperti sembilu yang menancap dan menghujam kedalam dada. Luka itulah yang dialami Purba, lelaki yang dulu pernah disebut-sebut sebagai calon, seseorang yang barangkali sudah menaruh seluruh harapannya pada seorang perempuan… ya itu dia ibu saya.
Ia datang dengan wajah yang muram, langkah-langkahnya berat seperti dihantam beban yang tak tertanggungkan. Di tangannya, cincin sederhana yang dulu ia sematkan dengan penuh keyakinan, kini telah kembali. Bukan dengan hormat, bukan pula sebagai tanda ikatan yang semakin erat, melainkan sebagai tanda pengakhiran, pemutusan, penolakan yang tanpa kata-kata panjang. Bayangkan betapa hancurnya hati seorang lelaki yang sudah memupuk mimpi, menanam harapan, membangun rumah-rumah angan di dalam kepalanya. Semua itu runtuh dalam sekejap, hanya karena sebuah keputusan bulat yang lahir dari mulut perempuan yang ia cintai.
“Sudah berakhir, Purba,” begitu kira-kira bunyi yang bergema di kepalanya.
Maka ia pun berubah jadi api. Api yang membakar dirinya sendiri. Ia berdiri di depan rumah keluarga ibu, suaranya memecah sunyi sore itu. Ia menghardik, mencaci, mengutuk. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan lagi bahasa cinta, melainkan semburan amarah yang tak bisa ia bendung. Ia seperti kerbau yang kehilangan kendali, ia menyeruduk dengan kata-kata, menghujat ibu saya, menghina keputusan yang telah dibuat, bahkan menista lelaki asing dari Toba yang tiba-tiba datang merebut segalanya.
Cincin itu, yang dulu simbol janji, kini hanya menjadi besi dingin tanpa makna. Ia genggam erat, lalu ia lemparkan ke tanah dengan geram. “Nonma hape pambaenmu bakku,” teriaknya. “On ma hape ujungni habujurankin”.
Keluarga di dalam rumah menahan napas. Suasana tegang, seakan udara pun berubah jadi beban. Ibu hanya diam, menahan getir di balik pintu, tahu bahwa setiap kata Purba hanyalah derita seorang yang dikhianati. Tetapi diamnya justru membuat Purba semakin kalap. Bapak saya, yang baru saja masuk dalam lingkaran keluarga, hampir saja melompat keluar untuk meladeni amukan itu. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Ia bukan lelaki yang sabar kalau kehormatan perempuan yang hendak ia pinang diinjak-injak.
Tiba-tiba Oppung rokok (bapaknya ibu saya) keluar menemui dengan amarah “Sukkup ma ai ambiaa!!!..” ujarnya sambil mengacungkan torjang, pisau panjang khas Simalungun, “Sahali nari hu tangar sonai hatamu, tongon hu sayat do borgok maii!”
Ancaman itu menghentikan Purba sejenak. Ada kilatan takut di matanya, meski hanya sebentar. Ia bukan tidak tahu, amarah orang kampung bisa lebih tajam dari baja. Maka langkahnya pun terhenti. Kata-katanya terputus di udara. Ia menunduk, menggertakkan gigi, lalu pergi dengan wajah merah padam, meninggalkan luka yang lebih dalam daripada hujatannya sendiri. Di balik semua itu, yang tersisa hanyalah seorang lelaki patah hati, hancur karena cinta, remuk karena janji yang diingkari. Cincin yang dulu penuh makna kini tinggal benda mati, dan ia tahu betul, sejak hari itu ia bukan lagi bagian dari cerita. Ia hanyalah catatan kaki yang getir dalam sejarah hidup perempuan yang memilih lelaki lain.
Setelah amarah Purba reda, atau setidaknya surut bersama langkahnya yang menjauh, suasana rumah itu tidak serta-merta menjadi tenang. Justru dari situlah gelombang lain dimulai, gelombang yang tidak diwarnai teriakan di depan rumah, melainkan perundingan panjang di dalamnya. Sementara itu, Oppung memanggil bapak untuk berbicara. “Apa sebenarnya niatmu datang ke sini? Dan bagaimana rencanamu?” Ayah saya, dengan kejujuran seorang anak bungsu yang miskin, berkata ia benar-benar ingin meminang putrinya
Di ruang tamu sederhana itu, tikar digelar, kursi-kursi rotan disusun, dan orang-orang tua duduk melingkar. Aroma kopi hitam yang baru diseduh tidak cukup kuat untuk menutupi ketegangan yang menggantung di udara. Ditengah lingkaran itu, duduklah Oppung rokok, kakek saya, sosok yang dihormati, keras tetapi adil, lelaki yang seluruh kata-katanya mengandung bobot keputusan.
Bapak saya seorang Toba sejati, sudah menyiapkan dirinya. Ia tidak hanya datang membawa cinta, tetapi juga membawa beban kehormatan. Dalam adat Batak, pernikahan bukan sekadar soal hati, melainkan soal marwah, harga diri, dan keseimbangan yang dijaga lewat simbol-simbol adat. Yang paling mencolok tentu saja, Partadingan/mahar. Jumlah partadingan bukan sekadar uang belanja pengantin. Ia adalah bahasa simbol, tanda kesungguhan, ukuran wibawa, dan sering kali menjadi pertarungan gengsi antara dua keluarga besar, apalagi keluarga ibu adalah keluarga yang terpandang di desa itu. Kemudian, saudara-saudara dari pihak ibu mulai bicara. Kata-kata mereka tegas, sesekali menajam, seperti pisau yang digosok di batu asahan.
“Kalau memang lelaki ini datang dengan kesungguhan,” kata seorang paman, “maka ia harus tunjukkan dengan partadingan yang pantas.”
“Benar,” sahut yang lain, “jangan sampai kita tampak murah di mata orang.”
Bapak menunduk, lalu mengangkat wajahnya dengan ketenangan yang tidak dibuat-buat. Ia bukan orang kaya. Kehidupan di Samosir keras, bapak sudah memperhitungkan, bahwa ibunya di samosir tidak akan sanggup membiayai upacara adat perkawinan yang biasanya diminta oleh pihak perempuan, ia datang dengan apa adanya. Tetapi di dalam sorot matanya ada keberanian, keberanian seorang lelaki yang siap menanggung segala resiko demi perempuan yang telah ia pilih.
“Apa yang saya punya, itulah yang saya bawa,” katanya. “Saya tidak datang untuk mempermainkan. Saya datang untuk menikahi putri kalian, dengan sungguh-sungguh.”
Oppung mendengarkan semua itu dengan seksama. Sesekali ia menarik napas panjang, seperti hendak meredakan bara di dalam dirinya. Ia tahu, keputusan ini bukan kecil. Disatu sisi, ada Purba yang telah lama dekat dengan keluarga, yang secara sosial lebih bisa diterima. Disisi lain, ada lelaki asing dari Toba ini, yang datang belakangan tetapi telah merenggut hati anak gadisnya.
Ketika perdebatan mulai memanas, ada yang menuntut agar dibuat upacara adat lengkap, ada yang menuntut partadingan lebih besar, ada yang meremehkan kemampuan bapak saya, kakek saya akhirnya bersuara. Suaranya berat, menggelegar, tetapi penuh wibawa. Kakek saya, sebagai seorang ayah, tetap menuntut adat dijalankan. “Kalau begitu, kita buatlah adatnya. 1.500.000 sinamot untuk borukku ini.” kata oppung kami, tapi jumlah itu terlalu besar bagi bapak. Ia tak mampu. Hidupnya penuh kesulitan, yang ditopang hanya oleh seorang ibu tua di Samosir. Melihat itu, hati oppung luluh. Ia pun berkata, “Kalau begitu, panggillah anak boru jabumu, biar kita bicara adatnya. Dan kalau kau memang sungguh, bawalah dia ke Samosir. Di sanalah kalian menikah, dan diberkati.”
Ruangan itu hening seketika. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu Purba. Saya kenal keluarganya. Dia anak baik, pekerja keras. Tetapi anak saya tidak memilih dia. Hati anak saya sudah memilih yang lain.” Oppung menoleh pada bapak, menatapnya lama, seolah hendak menimbang isi jiwanya. Ucapan itu seperti palu godam yang menghentikan segala perdebatan. Tidak ada lagi suara-suara sumbang, tidak ada lagi tuntutan berlebihan. Keputusan oppung adalah kata terakhir, dan semua orang tunduk pada kebijaksanaannya.
Bapak menunduk, matanya basah, ia merasa dihargai. Sementara ibu saya yang sejak tadi hanya duduk tarpaku, diam-diam meneteskan air mata lega. Malam itu, perundingan yang panas akhirnya ditutup dengan doa. Dan sejak hari itu, jalan menuju pernikahan mereka terbuka. Meski sempat diterpa badai, meski ada amarah dan hujatan yang membekas, cinta mereka tetap berdiri, bukan hanya karena keberanian mereka, juga karena keputusan seorang ayah yang memilih kebahagiaan putrinya di atas segalanya.
Dan demikianlah terjadi. Tahun 1985, ibu saya menikah dengan bapak saya, di Samosir, dengan restu keluarga. Cincin yang dulu dikembalikan kepada si Purba menjadi simbol pahit, bahwa cinta bukan sekadar janji yang diikat oleh logam, dia menjadi keberanian untuk memilih jalan hidup. Si Purba terluka, tetapi dari luka itu, garis kehidupan saya sendiri terukir. Kalau saja seandainya cincin itu tak dikembalikan, mungkin saya tak pernah lahir untuk menuliskan kisah ini.
Komentar
Posting Komentar