Mimpi: Terikat pada senyap, Berputar di antara kemungkinan

Saya kerap merasa kisah yang datang lewat mimpi bukanlah sekadar mimpi. Ia hadir tanpa alasan, membawa suasana yang sukar saya letakkan dalam bahasa. Bak sebuah catatan yang diselipkan begitu saja, tanpa pengantar dan tanpa penutup, namun menyisakan jejak yang sulit saya hapus. Dalam mimpi itu saya berada di sebuah desa yang asing sekaligus akrab, rumah-rumah sederhana berdiri di lereng pegunungan, udara tipis menyentuh kulit, dan wajah-wajah yang seakan mengenal saya, padahal saya tidak tahu siapa mereka. Ketika terbangun, bayangan itu tidak hilang. Ia menempel pada kesadaran, membuat saya terus bertanya apakah ada sesuatu yang sedang memanggil saya pulang. Kata “pulang” itu sendiri menggantung, tidak menunjuk ke tempat tertentu, tidak mengarah ke masa lalu atau masa depan, hanya berdiri sebagai tanda yang mengusik. 

Saya tidak tahu dari mana kisah ini bermula, seolah ia tumbuh begitu saja di antara retakan waktu yang tak bisa saya jamah. Yang tersisa hanyalah perasaan seperti menunggu sesuatu, tanpa benar-benar tahu apa yang sebenarnya saya tunggu. Rumah sederhana yang saya kenal baik berdiri di tengah kabut, dipenuhi suara yang samar, namun tak ada yang bisa saya pastikan nyata. Seakan saya sedang berada di sebuah ruang transisi, tempat jiwa berhenti sejenak sebelum melangkah entah ke mana. Dan di sana, segala hal yang saya kenal justru berubah menjadi teka-teki yang tak kunjung selesai.

Saya memasuki sebuah desa yang dilingkupi gunung-gunung, di mana kabut turun hampir sepanjang hari dan seakan kabut itu enggan terangkat. Rumah saya berdiri di tepi sungai kecil, dengan beranda rumah kayu yang menghadap ladang. Di sana, kentang, kubis, dan ketela tumbuh dalam dinginnya tanah, seolah  menyimpan pesan yang tidak pernah mereka ucapkan. Setiap pohon, setiap helai daun, bahkan tanah yang lembab, seperti menatap balik dan menyimpan rahasia yang tak mampu kujangkau.

Di desa itu, waktu berjalan dengan ritme yang tidak saya kenal. Pagi datang tanpa tergesa, malam datang tanpa penutup. Tidak ada tanda bahwa hari-hari bergerak menuju sesuatu,  seolah waktu hanya berputar di lembah itu, berulang, dan tidak pernah selesai. Saya hidup di dalamnya, dan semakin lama, saya merasa bukan saya yang menjaga ladang, melainkan ladang yang menjaga saya dan tetap berada di sana.

Semakin lama saya menatap kabut, semakin kuat perasaan bahwa desa itu bukan sekadar mimpi. Ia seperti pintu menuju ruang lain yang tak bisa saya jelaskan. Kabut yang menyelimuti rumah dan ladang bukan hanya sekadar udara lembap, melainkan tirai yang menutup sesuatu yang tidak boleh dilihat sepenuhnya. Setiap kali saya mencoba menyingkapnya, kabut justru semakin tebal, dan dari dalamnya muncul bisikan samar yang tak pernah saya pahami.


Jadi begini...Malam itu, selepas meneguk segelas air jahe hangat di biara Murti, saya ketiduran. Tidur yang dalam, seakan pintu yang lama menunggu untuk dibuka. Di dalamnya, saya tiba di sebuah desa pegunungan pada tahun yang jauh, agaknya itu sekitar tahun 1800-an. Udara dingin menempel di kulit, kabut turun perlahan bagaikan helai kain putih yang membungkus lembah. 

Rumah saya berdiri sederhana disana, dindingnya dari anyaman bambu (mardinding topas), beratap rumbia, lantai dari papan, panggungnya dibuat untuk menjauhkan lembap dan dinginnya tanah dari tempat tidur. Didepannya mengalir sungai kecil, jernih, dengan suara yang tak pernah berhenti, seakan-akan sedang mengucapkan doa yang tak dimengerti. Ladang di sekitarnya hidup dari kerja tangan dan kesabaran hati menilik musim.

Kentang tumbuh di tanah gembur. Kol, kubis, dan palawija menunggu dipetik. Ubi dan ketela berdiam di dalam tanah, menyimpan kekuatan yang tak terlihat. Semua itu bukan sekadar tanaman. Mereka adalah waktu yang diubah menjadi makanan. Mereka itu tanda kesetiaan bumi kepada yang merawatnya.

Tetangga terdekat saya, Pak Suratmo dan Ibu Juminah, sesekali datang bertandang. Mereka membawa seikat sayur atau sekadar cerita kecil yang menyalakan tawa. Cucu mereka, seorang anak perempuan, sering berlari di halaman, menepuk ayam yang mencari makan di tanah. Tawa kecilnya bagai air jernih yang menembus kesunyian porlak-porlak kami. 

Suatu pagi, Pak Suratmo duduk di depan rumah. “Apa kentangnya sudah bisa dipanen, dik?” katanya. Saya hanya mengangguk sambil menatap kabut. Tidak ada yang benar-benar perlu dijawab. Kata-kata yang mereka ucapkan adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung. Kehidupan tidak perlu diberi makna, karena ia sudah menjadi makna itu sendiri.

Selain mereka, ada Mbah Sarto, lelaki tua yang selalu berjalan dengan keranjang rotan di punggung. Ada Wanto dan Lastri, pasangan muda yang menanam jagung di ladang yang menghadap matahari. Kami tidak sering berkumpul, tetapi kebersamaan itu tidak diukur dari seberapa sering. Ia hadir bagai aliran sungai, jauh atau dekat, tetap terdengar. 

Ada juga Pak Juwito, seorang lelaki paruh baya yang menanam kentang di ladang miring tak jauh dari rumahku. Ia sering lewat di jalan setapak sambil membawa cangkul. Sesekali ia mampir untuk sekadar berbincang. Ada pula keluarga Bu Tini dan anaknya yang rajin menanam kubis. Suaranya renyah bila menyapa, dan kadang ia menitipkan sayur hasil panennya kepadaku. Kehidupan di lembah itu sederhana, saling bertaut dengan cara yang alami.

Meski ada beberapa tetangga, aku lebih sering sendiri. Hari-hariku penuh dengan bercocok tanam, menyiangi ladang, atau sekadar berjalan di tepian sungai. Kesendirian tidak pernah terasa berat, sebab selalu ada alam yang menemaniku.

Namun, dalam kesunyian, saya selalu kembali kepada satu pertanyaan yang tak pernah selesai. Apakah rumah sederhana ini benar-benar rumah saya? Apakah kabut yang menyelimuti lembah ini adalah kabut yang nyata, atau hanya kabut yang lahir dari keinginan jiwa?

Malam itu, kabut turun lebih pekat. Saya mendengar suara dari kejauhan, samar, seperti percakapan banyak orang. Tidak jelas bahasa apa yang mereka gunakan. Saya keluar, menatap ladang. Yang terlihat hanya kabut yang bergerak, namun hati saya merasa ada sesuatu di baliknya.

Esok paginya, saya bertanya kepada Pak Suratmo. “Pak, apakah Bapak mendengar suara-suara semalam?” Ia menatap saya cukup lama, lalu hanya berkata pelan, “Gunung kadang menyimpan suara. Mungkin semalam kau hanya sedang mendengarnya Dik.” Ia tidak menambahkan apa-apa, dan saya tidak menanyakan lagi. Kemudian saya TERBANGUN. 

Sejak itu, mimpi saya kembali ke desa ini semakin sering. Setiap kali saya tertidur, saya kembali ke rumah mardinding topas itu, ke ladang, ke sungai kecil yang jernih. Kadang mimpi itu terasa lebih nyata daripada hidup saya sehari-hari. Kadang saya bingung, apakah saya sedang bermimpi kehidupan yang sekarang, ataukah sedang mengingat kehidupan dimasa lalu?

Suatu pagi saya terbangun masih dengan mimpi yang sama, namun bau tanah lembab masih menempel di hidung. Di kamar biaraku yang jauh dari gunung, saya masih bisa merasakan aroma kopi hitam di lorong-lorong bangunan ini. Perasaan itu bertahan sepanjang hari. Bahkan saat berjalan ke warung ibu Sukarti, tanah di bawah kaki terasa seperti tanah pegunungan. Saat berkegiatan, pikiran saya melayang pada kol, kentang, dan palawija. Saat berbicara dengan orang, yang saya lihat justru wajah Pak Suratmo dan warga desa yang ada dalam mimpi saya itu.

Hari demi hari, pertanyaan itu membesar, pulang itu ke mana? Apakah pulang berarti kembali ke rumah tempat tubuh saya sekarang berdiam? Ataukah pulang yang berarti berjalan ke rumah berdinding topas di lembah kabut. RUMAH yang HANYA SAYA TEMUI dalam TIDUR itu?

Mungkin pulang bukan tempat. Mungkin pulang adalah suara yang berulang kali berbisik dari dalam, suara yang tidak pernah jelas arahnya. Pulang mungkin adalah ingatan yang tidak saya mengerti, atau kerinduan yang tidak saya kenali.

Dalam renungan itu, saya mulai merasa bahwa desa di pegunungan bukan sekadar mimpi. Ia mungkin cermin. Ia mungkin ruang lain dari diri saya sendiri. Ia bisa saja adalah kehidupan yang pernah saya jalani, atau kehidupan yang sedang menunggu. Yang membuatnya misterius adalah, semakin saya berusaha memahaminya, semakin ia menjauh. Seperti kabut yang semakin tipis bila ditatap terlalu lama, namun kembali menebal saat dibiarkan. Dan pada satu malam, saya terbangun dengan perasaan aneh. Saya merasa baru saja membuka pintu rumah berdinding topas itu, dan ketika menoleh ke dalam kamar tempat saya tidur, yang saya lihat hanyalah bayangan seorang asing yang berbaring di ranjang saya. Saya tidak tahu, apakah yang berbaring itu saya, atau seseorang lain.

Malam itu saya sadar, mimpi dan kenyataan mungkin bukan dua hal yang terpisah. Mereka bisa saling menembus, saling mengisi. Tidak ada garis yang benar-benar memisahkan keduanya. Ada saat di mana saya tidak tahu lagi, apakah sedang bermimpi tentang kehidupan, atau sedang hidup di dalam mimpi. Yang saya tahu hanyalah satu hal, suara itu terus berbisik dari dalam, lembut namun tegas. “Pulanglah.” Pulang ke mana, saya tidak pernah benar-benar tahu. Namun mungkin, justru di sanalah makna itu tinggal, dalam ketidaktahuan yang terus mengundang pencarian.

Sekarang, izinkan saya meminta maaf bila kisah ini terasa kabur, seakan menyisakan lebih banyak tanya daripada jawab. Mungkin karena setiap kata yang dituliskan mengandung lapisan yang belum selesai saya pahami sendiri. Jika Anda merasa tersesat di dalamnya, ketahuilah bahwa saya pun masih berjalan di jalan yang sama, mencari arti yang belum juga saya temukan. Barangkali memang ia membawa terlalu banyak lapisan makna yang tidak selalu mudah dijangkau. Biarlah yang samar tetap tinggal sebagai samar, dan yang berat tetap menunggu waktu untuk dipikul.


Diambang Sore, Biara Murti 127B 

Sept 25|Poltak pendongeng Miskin yang Tak Berwawasann




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

Anggii boru payung: Saat Waktu Memaksa Lupa

Anggii boru payung Part II | MAAF 🙏