Romo Wirandus | Kronik Salah Kaprah di Goa Maria
Cerita ini berawal dari sebuah ajakan yang terdengar biasa saja. Namun, seperti banyak hal dalam hidup, yang sederhana seringkali menyimpan kejutan di dalamnya.
Kami berangkat dengan niat menghadiri misa pembukaan bulan Rosario, tapi pulang dengan membawa kisah yang tak pernah kami duga, kisah tentang panggilan singkat “Mooo” yang menimbulkan salah paham berkepanjangan, hingga temanku Wirandus M Munthe nyaris benar-benar dianggap sebagai seorang pastor.
Yang masih membuatku heran hingga kini adalah bagaimana orang-orang bisa begitu yakin bahwa Romo Wirandus benar-benar seorang pastor. Apakah karena pembawaannya yang tenang dan suaranya yang mantap? Ataukah memang ada semacam aura yang memancar dari dirinya, membuat siapa pun yang melihat percaya begitu saja? Saya tidak tahu pasti, tapi sepertinya kehadirannya memang memantulkan kesan seorang gembala umat, meski sesungguhnya ia hanya awam yang kerap aku panggil singkat, “Mooo.”
“Guru!!, besok ada pembukaan bulan Rosario di Goa Maria Kerep Ambarawa, kesitunya kita daa”, Suara Romo Wirandus sore itu tenang, dan sungguh-sungguh. Aku hanya menimpali, “Oh iya, Romo. Nanti kita bicarakan lagi ya.” Begitulah awalnya dimulai, di rumah sakit Telogo Rejo, tempat dimana nanggi hakim sedang dirawat intensif pasca tindakan operasi yang dilakukan sekira pekan lalu.
Besokannya, kira-kira lima belas menit lewat dari jam dua siang, aku mengirimkan pesan singkat kepada Romo wirandus. “Nanti kam kabari kalau sudah jalan ya Mo,” tulisku. Balasannya datang dengan cepat, “Enggeh, Guru...” Kami sudah berjanji akan berangkat pukul setengah enam sore, sementara misa Rosario dijadwalkan dimulai pukul tujuh malam.
Sebelum berangkat, aku menghubungi Riska. “Kong, kau mau ikut ke Goa Maria nanti sore? Aku sama si Romo mau ke sana.” Suaranya terdengar riang di seberang, “Ikut, Bang. Bentar, aku ajak si Kristi sekalian ya.” Maka lengkaplah rombongan kecil kami malam itu, aku, Romo Wirandus, Riska, dan Kristi.
Menyambut sore, langit mulai meredup dengan cahaya yang lembut, ditambah gerimus tipis baru saja mampir ditanah Tembalang tercinta ini. Molor pukul setengah enam lebih sepuluh menit kami baru gerak. Jalanan Semarang sore itu tak memberi banyak ruang. Mobil-mobil mengular panjang, motor berseliweran, para buruh pulang dari pabrik dengan wajah letih. Kami menembus arus padat itu dengan sabar, ya menunggu aliran waktu sendiri untuk bergerak.
Perjalanan memakan waktu lebih dari satu jam. Namun, tepat pukul tujuh, kami tiba di pelataran Goa Maria Kerep Ambarawa. Lampu-lampu menyala, menuntun langkah para peziarah menuju altar pada gedung semi terbuka yang sudah dipenuhi kursi² plastik. Udara di sana sejuk basah, bercampur dengan aroma pendupaan yang terbakar pelan.
Misa pembukaan bulan Rosario dimulai dengan khidmat. Doa-doa bergema dari mulut umat, merambat ke langit yang pekat. Aku merasakan sebuah ketenangan yang sulit diceritakan dengan kata-kata. Dalam butir-butir Rosario, aku mendengar detak hatiku sendiri, seakan ingin menyatu dengan gema doa di sekelilingku.
Riska dan Kristi duduk di sisi kiriku, wajah mereka diterangi cahaya lampu temaram gedung semi terbuka itu. Romo Wirandus, dengan sikap yang tenang dan suara yang lantang menghujam telinga, mengikuti doa dengan saksama, dan dalam tempo secepat²nya. Aku menatap mereka satu per satu, merasa bahwa perjumpaan malam itu bukan kebetulan, aku merasa itu semacam hadiah kecil yang tersembunyi di antara kesibukan hari-hari biasa.
Ketika misa berakhir, umat langsung menyusun kursi plastik dengan kesadaran penuh. Ada yang memilih berdoa pribadi, ada pula yang memilih beradorasi dengan wajah menunduk diruang adorasi yang tersedia. Aku ikut larut dalam situasi itu, membiarkan diriku berdiam sejenak. Sementara, Si-romo, Riska dan Kristi khusyuk dalam doa-doa mereka, aku malah terbuai dengan teduhnya suasana.
Jarum jam sudah mendekati pukul sembilan malam ketika kami melangkah menuju parkiran. Udara semakin dingin, pepohonan di sekitar Goa Maria bergoyang pelan tertiup angin. Kami berjalan beriringan, bercakap seadanya, sampai akhirnya Romo Wirandus berkata, “Guru, kita pergi dulu lihat aksesoris ya. Aku mau beli si Luce.” Luce itu adalah maskot Porta Santa yang ia incar sejak lama.
Aku mengiyakan. Kami lalu menyusuri lorong di mana para pedagang berjejer dengan barang dagangan mereka. Rosario, gantungan kunci, kalung, lilin, semua tertata rapi di atas rak dan meja kayu. Suasana itu begitu khas, antara sakral dan meriah, seakan doa dan dagangan bisa hidup berdampingan di satu tempat.
Sambil berjalan di antara kios-kios kecil itu, aku melihat Romo Wirandus sibuk menawar sebuah gantungan berbentuk malaikat kecil. Wajahnya serius, seakan sedang bernegosiasi tentang sesuatu yang sangat penting. Aku yang terbiasa memanggilnya dengan singkat, hanya berkata, “Gimana, Mo? Nggak jadi? Nggak cocok ya? Mau cari warna apa, Mo?” Suaraku terdengar biasa saja, seperti percakapan kami sehari-hari.
Seorang ibu penjual yang duduk di balik meja, mendongak pelan. Dengan suara berbisik dan mulut mengisyarat, ia berucap ke arah saya, “Romo yaa???…” Kalimat itu seolah terucap begitu saja, dan penuh hormat. Aku menangkap gerak bibirnya, walau tak menjawab. Aku hanya tersenyum, lalu berpaling pada Wirandus yang cuek dan asik dengan aksesorisnya.
“Mas, dari mana?”, tanya salah satu dari ibu-ibu pedagang itu. Aku menjawab dengan ramah, “Kita dari Medan ibu..”
Ternyata warna yang dicari tidak juga ditemukan. Romo Wirandus menggeleng pelan, lalu kami melangkah lagi ke arah parkiran. Saat itulah, terdengar panggilan dari para pedagang lain, “Romo…!! Romo…!!!” Suara itu terdengar berulang-ulang, semakin jelas dan tegas.
Aku terdiam sejenak. Jantungku berdetak cepat. Mereka sungguh-sungguh mengira bahwa Romo Wirandus adalah seorang pastor yang datang dari Medan. Aku tertawa dalam hati, tapi juga bingung harus menjawab apa.
Seorang bapak penjual mendekat, membawa seuntai rosario. “Romonya tadi udah kemana ya, mas?. Kalau boleh, kami mohon diberkati Rosario ini, sekalian mau kasih Rosario cinderamata untuk romo-nya.” Kata-katanya tulus, sederhana, dan penuh keyakinan.
Aku langsung berlari kecil menghampiri Wirandus yang sudah lebih dulu melangkah ke parkiran. Dengan suara tergopoh, aku berkata, “Mo, Mo, ayo cepat kita pulang! Gara-gara aku panggil kam ‘Mo, Mo’ tadi, mereka kira kam pastor sungguhan!!!.” Aku menepuk pundaknya sambil tertawa. Wajahnya pun memerah, antara geli dan kikuk, sementara itu aku yang sosak. Kami bergegas meninggalkan lorong itu. Langkah kami tergesa, seolah sedang dikejar bayangan yang tak kelihatan.
Peristiwa itu membuatku teringat pula pada kejadian beberapa tahun silam, di masa COVID-19. Waktu itu, aturan pembatasan jam malam masih berlaku. Aku dan teman-teman sekitar tujuh motor jumlahnya, nekat berangkat ke Goa Maria. Aku berada di depan, memimpin barisan, sementara si-Romo Wirandus ada di barisan belakang.
Kami tiba di pelataran Goa Maria hampir pukul sepuluh malam. Portal sudah tertutup. Seorang sekuriti menyapa kami dari kejauhan, “Maaf, Pak. Sudah tutup. Karena COVID, Goa Maria tidak bisa dibuka lagi malam ini.” Suaranya tegas, tapi ramah.
Aku spontan menoleh ke belakang dan berteriak, “Mo! Kata bapaknya sudah tutup karena COVID!” Suaraku nyaring, menembus udara malam. Sekuriti yang mendengar itu langsung kaget. Matanya membelalak, lalu ia bergumam, “Hah? Ada Romo?”
Aku yang tak menyadari kekeliruannya, hanya mengulang lagi, “Iya, Mo! Sudah tutup!” Sekuriti itu semakin kikuk, wajahnya pucat, seolah baru saja melakukan kesalahan besar karena menutup pintu bagi seorang pastor.
Romo Wirandus maju ke depan, bingung harus berkata apa. “Iya, sudah tutup ya, Pak? Gara-gara COVID, ya?” tanyanya pelan. Sekuriti itu mengangguk takut, wajahnya tegang. Ia merasa sedang berhadapan dengan seorang pastor, padahal sebenarnya hanya seorang sahabat yang biasa kupanggil “Mo”.
Aku tak tahan menahan tawa. Situasi itu terlalu lucu untuk dilupakan. Aku pun berkata, “Ya sudah, Pak. Kami pulang saja.” Tanpa sempat memberi klarifikasi siapa sebenarnya Wirandus, kami berbalik arah, meninggalkan portal yang tetap tertutup rapat.
Kenangan itu masih jelas tersimpan di kepalaku. Hingga malam kejadian ini, aku merasa seperti mengulang kejadian yang sama. Sebuah kesalahpahaman sederhana, yang lahir hanya karena satu panggilan singkat, “Mooo.”
Masih dengan tawaku yang tak kunjung reda, kami melanjutkan perjalanan menuju kota Ambarawa. Perut si-Romo mulai lapar katanya. Di depan Monumen Palagan Ambarawa, kami berhenti. Di sana, ada warung sederhana menjual kwetiau goreng dan bakmi. Kami duduk di kursi kayu panjang, memesan makanan dengan wajah yang mulai lega.
Suasana menjadi hangat kembali. Riska dan Kristi sibuk bercakap, Wirandus hanya tersenyum sambil menyesap air putih hangatnya, dan aku masih terkekeh kecil setiap kali mengingat panggilan itu. Malam semakin larut, tapi rasa lelah tidak terasa berat. Sekitar pukul sebelas malam, kami akhirnya pulang menuju Tembalang. Jalanan sudah sepi, udara dingin menyelimuti perjalanan. Aku mengendarai dengan tenang, sambil sesekali mengulang dalam hati kejadian tadi. Sebuah malam yang berakhir dengan tawa, di antara doa-doa yang sudah dipanjatkan.
Dan begitulah, tanpa pernah saya rencanakan, panggilan itu lahir. Sejak lama ia memang hidup dengan cara yang menyerupai para pastor, kadang berhomili seperti seorang gembala, kadang mengenakan jubah kasula seolah baru turun dari altar. Pengetahuannya tentang hidup membiara, kitab suci dan sejarah gereja pun bukan main, bahkan dengan gagah dia sanggup berdebat dengan para Pendeta Protestan dari berbagai aliran. Selain itu, ia juga bisa bercakap panjang lebar tentang para Jesuit yang ia kagumi, tentang biara kontemplatif yang sering ia kunjungi, tentang ordo-ordo yang baginya lebih dari sekadar nama. Bahkan persaudaraan OSF, KYM, CB, Ursulin, hingga para tarekat yang mungkin jarang disebut orang, sudah akrab dalam kesehariannya. Maka, dari kebiasaan melihatnya begitu, entah sejak kapan, lidah saya mulai memanggilnya dengan sapaan sederhana, “Mo.” Hanya dua huruf, ringan, mengalir seperti air. Lama-lama melekat, menjadi “Romo”, bahkan adek² lain memanggilnya dengan sebutan BANG ROMO wkwkwk, dan sampai kini, tanpa sadar, saya pun percaya seolah-olah memang begitulah dirinya.
Poltak, Pendongeng Miskin yang tak Berwawasan
Komentar
Posting Komentar