Sepucuk Surat dari Tembalang
Suatu waktu dalam hidup seorang pemuda, ketika pena dan kertas menjadi satu-satunya jalan untuk menyampaikan rasa. Malam yang lengang seringkali mengantarkanku pada kenangan itu, saat wajahmu masih terjaga dalam ingatan, seakan engkau baru saja melintas di hadapanku. Di meja kayu yang mulai rapuh ini, kutuliskan kalimat demi kalimat dengan hati yang tak pernah lelah menyimpan namamu.
Setiap huruf yang ditorehkan adalah bagian dari diriku, bagian dari hari-hari yang pernah kita lalui bersama di tanah rantau ini. Di sela desir angin yang menyusup melalui jendela, aku menaruh harap agar surat ini dapat menyampaikan betapa dalamnya makna kebersamaan itu bagiku. Inilah caraku menjaga kenangan, menjaga bayanganmu, menjaga segala yang pernah singgah dan tinggal di ruang hidupku.
Tembalang, pada suatu sore yang teduh
Teruntuk adinda Brigitta br Simbolon yang terkasih,
Semoga ketika surat ini tiba, dirimu berada dalam lindungan kasih Tuhan, sehat raga dan tenteram jiwa, serta tiada kekurangan sesuatu apa pun. Dengan hati yang sungguh, kutuliskan baris-baris sederhana ini, di meja kayu yang telah renta, ditemani secangkir jahe hangat yang asapnya perlahan lenyap di udara, seraya kusisipkan doa agar kiranya dikau sudi sejenak meluangkan waktu membaca kabar dari seseorang yang dahulu pernah kau kenal sebagai Poltak. Aku yang dahulu engkau kenal hanya sebagai seorang kakak tingkat yang hidup sederhana di kampus itu. Aku yang menempuh hari-hari dengan pekerjaan apa saja demi sekadar bertahan di kota asing ini.
Mestinya ku lupakan tentang semua yang ada. Tentang kita. Namun, sunggahlah susah. Ingatan datang dan berkejaran tanpa kuminta. Ingatan datang berdesakan dibenakku, perlahan membakar dan membuat batinku semakin sakit. Mungkin dirimu sudah tidak lagi mengingat namaku, atau barangkali namaku hanya singgah sebentar di masa lalumu, namun bagiku, Gitt, tiada satu pun hari yang benar-benar mampu memisahkan ingatan tentang dirimu dari perjalanan hidupku.
Telah pun genap delapan tahun sejak kakiku menapaki kota ini, dan hari ini, dengan hati yang tak kuasa menahan rindu, aku kembali melangkahkan diri menyusuri jalan-jalan yang dahulu pernah kita lalui berdua. Ada pula rasa asing yang menyelinap, sebab tempat ini banyak yang berubah, akan tetapi dalam perubahan itu kenangan lama menyeruak dengan lebih kuat, seolah waktu hanya berputar di benakku seorang diri.
Di Tembalang yang kini telah banyak berwajah baru, aku kembali menyusuri jalanan yang dahulu menjadi saksi langkah-langkah kita Gitt. Aku berdiri di pelataran GSG, yang kini telah berubah rupa menjadi Muladi Dome yang megah, katanya gedung ini bisa menampung hingga lima ribu orang. Sementara itu diujung sana, apakah dirimu masih ingat rusunawa yang dahulu teduh, kini didepannya telah berdiri gagah gedung olahraga bertaraf internasional. Tak jauh dari situ, sekarang sudah dibangun jembatan kokoh yang katanya diberi nama jembatan Sikatak. Semua tampak lain, namun dalam hatiku tetap terasa sama, sebab kenangan yang pernah kita ukir di tanah ini masih berdiri teguh, bagai batu yang enggan lapuk oleh hujan dan waktu.
Masih pula terbayang jelas dalam ingatanku, saat pertama kali engkau menoleh kepadaku di sebuah aula kampus yang riuh oleh suara mahasiswa, atau mungkin di jalanan sempit yang ramai oleh langkah-langkah muda kala itu. Aku sendiri tidak mampu memastikan di mana perjumpaan itu bermula, tetapi sejak saat itu wajahmu senantiasa hadir dalam ingatanku, seakan engkau menitipkan dirimu untuk tinggal lebih lama di dalam sanubariku. Engkau adik kelas yang halus perangai, lembut dalam tutur, penuh perhatian, dan aku lelaki sederhana yang datang dari desa jauh di Sumatera seakan menemukan jalan baru yang belum pernah kutempuh sebelumnya.
Sering aku merasa malu bila harus berjalan di sampingmu. Akibat daripada kesadaranku, aku hanyalah seorang mahasiswa perantau yang menambal hidup dengan pekerjaan serabutan, hari ini pramudi, esok menjadi pemain peran, lusa mungkin pula kembali mencari apa saja yang bisa dikerjakan demi bertahan hidup. Aku hanyalah anak kampung yang menahan letih dalam setiap langkah. Namun setiap kali engkau menatapku dengan matamu yang jernih, sebegitulah pula dunia ini melunak, seakan ada ruang bagiku untuk sekadar beristirahat dari rasa berat itu. Dalam tatapanmu itu, aku belajar untuk memandang diriku sendiri dengan cara yang lebih sabar, pun lebih tenteram, juga lebih yakin bahwa perjalanan hidup ini tetap pantas untuk dijalani.
Sekarang jalan Gondang kulalui kembali, Gitt, dan alangkah terperanjat hati ini melihat sisi-sisinya yang telah dipenuhi rumah-rumah kedai bercahaya terang. Dahulu, ketika kita melintas setiap sore selepas kuliah, yang kita dapati hanyalah warung sederhana dengan kursi kayu seadanya. Dan di perempatan Gondang dan Sipodang itu masih bertahan warung pecel Bu Mar, dengan aroma sambal kacang yang tak berubah sejak dahulu. Aku berdiri agak lama di sana, dan dalam bayanganku tampak dirimu duduk di kursi panjang, menunduk pelan sambil mengusap rambutmu yang tergerai, lalu sesekali tersenyum kecil saat aku mengomentari laukmu yang selalu lebih rapi daripada milikku. Aku juga melihat perapatan yang dulu selalu padat karena angkot kuning yang banyak ngetem, kini tak satupun ada lagi terlihat, barangkali ditelan ojek online yang lebih praktis itu.
Dari Gondang aku berjalan ke arah Banjarsari. Beberapa burjo langganan kita sudah sirna, tinggal dinding-dinding pudar yang menandakan bahwa tempat itu pernah ramai. Namun satu dua masih bertahan, meski bangkunya tampak lebih sunyi. Kala berdiri di depannya, aku seperti masih mendengar suara tawamu, ketika kau menegurku karena selalu memesan gorengan terlalu banyak. Kau dengan perhatianmu selalu berkata dengan nada lembut bahwa aku harus belajar menahan diri, dan aku hanya bisa terkekeh, menutupinya dengan alasan perut yang tak pernah kenyang.
Patung sapi di depan taman Fakultas Peternakan pun masih berdiri, Gitt, meski warnanya telah kusam dimakan usia. Di sekitarnya, rerumputan telah diganti dengan bangunan baru. Rusa-rusa yang dahulu menemani sore-sore kita sudah tiada. Tetapi saat aku berdiri di dekat pagar taman itu, terbayang kembali saat engkau menyodorkan sepotong tahu goreng kepadaku, lalu tertawa manis ketika aku terbatuk-batuk kepedasan. Dulu, dirimu suka mengajakku duduk di dekat taman rusa ini. Kau tahu Gitt, aku mencarinya lagi. Akan tetapi rusa-rusa itu sudah tak ada. Hanya rumput yang kering, dan patung yang lusuh menatap kosong ke udara. Terasa pula hampa yang tiba-tiba menyelinap, seakan tempat itu kehilangan nadinya, sama seperti kita yang kehilangan kesempatan untuk tetap bersama.
Langkahku kemudian tiba di gedung Student Center, atau tepatnya bekasnya, sebab gedung itu sudah dirobohkan. Di tempat itulah dulu kita duduk beralaskan lantai dingin, bergabung dalam acara kampus, saling bertukar catatan dan cerita. Aku masih menyimpan selembar kertas kecil bertuliskan doa darimu, “Jangan cepat menyerah, kau pasti bisa.” Tulisan tanganmu tegak rapi, dan ketika kubacakan kembali semalam, rasanya seperti engkau hadir di sampingku. Kupejamkan mata, kembali mengingat caramu menatapku. Sungguh Gitt, aku sangat merindukanmu, Diantara itu, pantaskah ada ruang dihatimu bagiku?
Aku terus berjalan, menyusuri lorong sempit menuju inde-kosku dulu. Dinding-dindingnya lembab, catnya mulai terkelupas, namun lorong itu masih membawa langkahku pada kenangan akanmu. Masihpun kuingat, bagaimana kau sering datang, membawa bungkusan makanan, dan dengan suara pelan menegurku karena aku jarang makan tepat waktu. Aku hanya tertawa, kau merengut, tapi akhirnya tersenyum lagi. Itu dia, senyum-mu yang manis itulah yang tak terlupakanku. Sungguh, aku tidak sedang menggoda Gitt.
Lalu aku mendekati jalan Sirojudin. Toko Totem masih ada, Gitt. Dirimu tentu ingat, bagaimana kau selalu menyeretku ke sana untuk membeli alat tulis dan kertas-kertas kuliahmu. Aku sering jengkel, karena harus menunggu lama, tapi dalam hatiku aku selalu senang bisa menungguimu. Kini, aku berdiri di depan toko itu, mengingat semua tingkahmu, dan ingin sekali berkata pada penjaga tokonya, bahwa dahulu, di tempat inilah tawa seorang gadis pernah membuatku lupa pada lelahku.
Aku pun berjalan lagi menuju masjid kampus di pertigaan itu. Di belakangnya masih ada warung makan sederhana. Semoga dirimu belum lupa, Saat kau selalu melarangku memesan es teh di sana. Katamu, teh dapat mengikat nutrisi dari makanan, dan aku diam saja, mengangguk patuh, sementara engkau tersenyum dengan wajah puas. Senyum itu masih lekat, Brigitta, lebih lekat daripada cat baru yang kini menutupi dinding masjid kampus kita itu.
Dari bundaran Undip, pandanganku tertuju pada taman baru yang dibangun di seberang sungai. Dahulu hanyalah hutan kampus yang sunyi. Dari sana aku menatap ke arah jalan menuju inde-kosmu. Gerbang tinggi itu masih berdiri, Gitt, cuman kini dengan cat baru yang lebih terang. Aku menunduk cukup lama di sana, teringat saat-saat aku setia menunggu, kadang berjam-jam, hanya untuk memastikan dirimu kembali dengan selamat. Gerbang itu adalah batas, antara kerinduanku dan duniamu yang lebih terhormat.
Masih kuingat satu sore, saat aku datang menjemputmu. Gerbang itu terbuka, namun yang keluar bukan dirimu, melainkan ibumu, yang entah sejak kapan beliau tiba di kota ini. Tatapan matanya dingin, sinis, seolah menolak keberadaanku yang sederhana. Sejak saat itu, aku mulai merasa gamang, meski aku tetap bertahan sebisaku. Di balik gerbang itulah pula terpatri kisah kita, pertemuan, penantian, dan akhirnya perpisahan.
Setelah menapaki Tembalang, aku melanjutkan langkah ke Kota Lama, turun di depan Jembatan Mberok. Aku berdiri lama di sana. Kau pernah bercerita padaku tentang sejarah jembatan itu, tentang masa lalu yang memisahkan golongan-golongan manusia. Kau masih ingat ceritamu tentang jembatan ini kan? Tentang bagaimana ia dulu menjadi batas antara penjajah dan pribumi, antara mereka yang berkuasa dan mereka yang ditindas. Aku berdiri di sini lama sekali, Gitt, karena kini aku tahu, bahwa kisah kita juga tak jauh dari cerita itu. Kita terpisah oleh hal-hal yang tak bisa kita jangkau, dari dinding yang dibangun oleh waktu, keadaan, dan mungkin juga restu yang tak pernah bisa kita miliki. Sungai yang mengalir di bawahnya tampak keruh, namun di mataku ia membawa bayanganmu. Jembatan itu bagiku bukan hanya besi dan kayu, melainkan lambang jarak yang tak pernah mampu kita lewati bersama.
Delapan tahun sudah Gitt, aku membawa bayanganmu ke mana pun aku pergi. Dirimu yang lembut, yang peduli, kau yang selalu mampu membuat seorang Poltak yang hanya anak desa kecil dari Sumatera, pekerja serabutan yang kadang jadi sopir, kadang jadi pemain peran merasa cukup, meski sebentar. Dalam kesederhanaanku, dirimu pernah hadir sebagai cahaya yang tak pernah redup.
Demikian kini, aku hanya ingin meninggalkan selembar surat. Tidaklah pula untuk meminta kembali pada masa lalu, bukan pula untuk membuka luka yang telah kau tutup. Bermaksud sekadar tanda diantara kita, bahwa aku seorang Pendongeng yang pernah menyayangimu dengan caranya yang sederhana. Pun demikian jikalau kelak engkau membaca surat ini, Gitt, anggaplah ia sebagai salam dari masa yang telah lewat. Aku tidak tahu apakah takdir akan mempertemuken kita lagi, tetapi aku percaya, kenangan yang telah kita tanam di Gondang, di Banjarsari, di Totem, di taman rusa, di gerbang indekosmu, dan di Jembatan Mberok, akan tetap abadi, meski dunia terus berubah.
Dengan segenap rasa yang tak pernah pupus,
Poltak/Tembalang 2025
Komentar
Posting Komentar