Warisan Dendam Oppung Windy Doli
Aku menulis ini seperti seorang yang sedang membuka lembar catatan lama. Setiap huruf adalah pintu kecil menuju kenangan yang tidak selalu ingin aku datangi, namun di situlah aku menemukan wajah ayahku yang keras, juga luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Di keluarga kami pernah ada pertengkaran yang begitu panjang, begitu melelahkan, sehingga maut pun tidak mampu mendamaikannya. Aku menulis sebagai anak, yang hanya bisa menyaksikan dari jauh bagaimana seorang ayah dan abangnya saling berpaling.
Aku tumbuh dengan perasaan ganjil setiap kali mendengar nama Mula Harapan disebut. Abangkandung ayahku itu bukan sekadar sosok Bapatua diujung marga. Dia adalah bayangan masa lalu, cerita yang selalu hadir dengan nada berat di bibir ayahku. Aku mendengar kisahnya sejak kecil, kadang dengan amarah, kadang dengan diam. Sejak kecil aku mendengar nama itu. Bagiku ia bukan hanya seorang bapatua, juga sebagai bayangan yang jarang hadir dengan ramah. Kisah-kisah yang kuterima lebih banyak tentang pertikaian, bukan pelukan. Hingga hari ini, bahkan setelah kematian memanggilnya, nama itu masih meninggalkan jejak getir di hati ayahku.
Menuliskan kisah ini bukan untuk merawat luka, hanya agar anak-anakku suatu hari kelak tahu, bahwa oppung dolinya pernah menanggung pertarungan panjang dengan darah dagingnya sendiri. Di rumah kami, aku sering mendengar ayah menggerutu. Kata-katanya singkat, tegas, sering kali menyudutkan. “Jolma tamppulak i,” katanya suatu malam ketika aku menyinggung nama abangnya. Tidak ada senyum mengenang, tidak ada kalimat yang melunak. Semua tajam, semua tegas.
Ayahku bukan tipe orang yang suka berputar-putar dalam bicara. Kalau marah, marah. Kalau kecewa, kecewa. Dan kalau sudah memutus, maka putuslah segalanya. Dari situ aku tahu, luka yang ditinggalkan Bapatua Mula Harapan bukan luka sepele, tapi itu luka yang bertahun-tahun menumpuk.
Sekarang, biarlah ayahku sendiri yang berbicara. Biarlah ia mengambil alih catatan ini dengan suaranya yang berat, dengan kenangannya yang pahit. Bahwa dalam keluarga, persaudaraan tidak selalu berakhir dengan pelukan. Ada kalanya jalan mereka justru menjauh. Persaudaraan kadang tidak seindah doa yang kita panjatkan. Dan di titik ini, aku biarkan ayahku sendiri yang bercerita.
Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Sejak muda aku sudah tahu bahwa abangku, Mula Harapan, punya jalan hidup yang berbeda. Dia pintar bicara, lihai dalam urusan dunia. Tapi pintar bicaranya sering berbalut tipu. Itulah yang lama-lama membuatku tidak percaya padanya.
Aku masih ingat ketika rumah peninggalan orangtua kami dipersoalkan. Seharusnya rumah itu menjadi tempat semua anak bisa pulang, melepas rindu. Tapi ia mengambil alih, seolah-olah hanya dia yang berhak menempatinya. Aku tahu, itu bukan soal rumah semata. Itu soal harga diri. Itu soal keadilan.
Paling sakit rasanya ketika ia tega mengusir kakak iparku, yang tak lain juga adalah anggi borunya, seorang janda, dari rumah itu. Janda yang tak punya siapa-siapa lagi. Ia hanya butuh atap, sekadar ruang untuk bertahan hidup. Tapi Mula Harapan mengusirnya tanpa belas kasihan. Aku tak bisa terima. Sejak itu, dalam hatiku, dia telah melintasi batas sebagai seorang abang.
Aku masih ingat waktu tinggal bersamanya di masa muda. Aku diperlakukan bukan sebagai adik, tapi seperti orang asing. Marah, pukulan, bentakan, semua itu sering kudapat darinya. Aku diam, tapi di dadaku tertinggal bara.
Aku juga tahu dia sering berbohong pada ibu kami. Katanya panen gagal, katanya butuh uang, padahal uang itu habis di meja judi. Aku tidak tahan melihat ibu ditipu oleh darah dagingnya sendiri.
Aku masih ingat waktu muda. Pernah sekali aku berkelahi besar dengannya. Dia merasa berhak atas hasil sawah lebih besar, padahal kami kerja sama-sama. Aku tidak tahan. Kami bertengkar hebat, sampai kampung ramai menahan kami. Dari situ aku tahu, dia memang tidak pernah bisa jujur.
Saat aku berencana akan menikah, dan meminta bantuan padanya, dia hanya marespon, ahh dang adong sibaenon tusi. Padahal sebagai siabangan harusnya dia tak bersikap seperti itu. Aku simpan semua itu dalam hatiku, menunggu hari ketika kebenaran akan muncul
Aku pernah merasakan dinginnya penjara, ketika nama hukum menjadi bayang-bayang hidupku. Saat itu, dari balik jeruji besi, aku menggenggam tangannya. Kukira, sebagai abang, dia akan menolongku. Aku berkata, “Abang, pos do rohangku tu ho da abangg.” Tapi nyatanya, tidak ada yang dia lakukan. Aku ditinggalkan sendiri, sementara dia melenggang entah ke mana. Padahal menurut cerita dari Ibuku, dia sudah memberikan si Harapan sejumlah uang untuk membantu mengurus perkaraku. Nyatanya entah kemana dia pergi. Aku tidak pernah lupa perasaan itu. Rasa ditinggalkan, rasa dikhianati. Itu membuatku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi berharap pada dia.
Tahun-tahun berjalan. Aku berusaha melupakan, tapi dia terus saja menunjukkan sikap tamaknya. Sampai akhirnya, sepuluh tahun yang lalu, dia mengusir Akkang Boru Simbolon [Op. Rayhand boru Simbolon] dari rumah Parsattian kami. Seorang janda, kakak iparku, yang juga adalah Anggiborunya diusir paksa dengan kasar. Kepalanya bahkan dibenturkan ke dinding. Itu puncaknya bagiku. Aku mendengar kabar itu, dan darahku kembali mendidih.
Aku masih menyimpan kenangan tentang hari ketika aku meneleponnya bicara tentang pengusiran di rumah itu. Aku dengan amarah menuntut penjelasan. Tapi yang kuterima hanya kalimat sinisnya. “Ini rumahku sekarang,” katanya. Kata-kata itu menusukku lebih dalam daripada pedang. Sejak saat itu, aku tahu bahwa hubungan kami sudah retak tak terperbaiki. Aku bahkan sempat mengeluarkan kalimat, Oh.. Paima disi, ingkon ro do au tu Samosir, Ingkon hu saehon ho!!. Kata-kata itu memang berbahaya, sebab aku tahu siapa diriku. Aku pernah hidup dengan tangan yang tak gentar menghunus parang.
Istriku menahan. Katanya, “Kau sudah tua, jangan kau ulangi lagi kebodohan itu, Penjara sudah cukup jadi rumahmu dimasa lalu.” Aku hanya mengangguk. Tapi di dalam hati, sumpahku sudah terucap, aku tidak akan lagi menganggapnya saudara.
Aku tahu kenapa dia kembali ke kampung. Bukan karena rindu. Dia mencium bau tanah warisan, itu saja. Maka aku bilang pada lurah, “Kalau dia urus tanah, jangan layani. Semua harus lewat aku.” Benar saja, dia datang, tanya-tanya soal surat, soal jual beli. Lurah menolak halus. Tanpa tandatanganku, tidak ada yang bisa dia lakukan.
Pernah suatu kali, setelah bertahun-tahun tak bertegur sapa, telepon berdering. Namanya yang muncul di layar. Aku biarkan saja. Bagiku, itu bukan lagi panggilan seorang abang. Itu sekadar bunyi kosong yang tidak layak kujawab. Biarlah dia tahu bahwa aku tidak sudi lagi mendengar suaranya.
Di pesta adat, kami duduk terpisah. Orang mungkin heran, tapi aku tidak peduli. Aku tidak bisa pura-pura tertawa dengan orang yang sudah menusukku sejak lama. Meski begitu, anak-anaknya tetap baik denganku. Kami masih bisa bercakap. Tapi terhadap dirinya, pintu sudah tertutup. Sekali aku bilang cukup, maka cukup.
Banyak yang bilang, maaf itu jalan terbaik. Aku sudah mencobanya dulu. Tapi setiap kali kuberi ruang, dia kembali melukai. Jadi aku berhenti.
Orang-orang sering bilang, keluarga itu harus dirawat, apapun yang terjadi. Tapi bagiku, keluarga bukan alasan untuk terus menerus dipermainkan. Kalau satu orang merusak kepercayaan berkali-kali, lalu apa yang tersisa? Aku memilih jalan memutus. Karena bagiku, itu satu-satunya cara menjaga diriku sendiri.
Banyak orang bertanya, apa tidak ada satu kenangan manis dengan abangmu? Aku coba mengingat. Aku mencari dalam-dalam. Tapi yang kutemukan hanya bayangan samar, dan itu pun terhapus oleh semua kebusukannya. Maaf, tapi aku tidak punya ruang untuk menyimpan yang manis. Tak ada hal indah yang pernah ku dapatkan darinya.
Hari ketika kudengar kabar ia meninggal, aku duduk diam. Tidak ada air mata. Tidak ada rasa lega. Tidak ada doa panjang yang terucap. Yang ada hanya sepotong kalimat dalam hati, sudah selesai. Tamat sudah riwayatnya. Bagi orang lain mungkin itu dingin, tapi bagiku itu jujur.
Aku tahu, banyak orang tidak mengerti sikapku. Mereka bilang aku terlalu keras. Tapi inilah aku. Lebih baik jujur dengan perasaanku daripada pura-pura memaafkan sementara hatiku tak pernah sungguh ikhlas.
Kembali padaku, Sipoltak pendongeng yang menuliskan ulang suara ayahku. Membaca kalimat-kalimatnya, aku bisa merasakan betapa dalam luka itu. Tidak mudah menerima bahwa seorang kakak dan adik bisa begitu terbelah. Aku mencoba mencari celah untuk mengerti. Aku mencoba menemukan sedikit cahaya di antara gelap cerita itu.
Sebagai anak, aku merasa sedih. Aku ingin melihat persaudaraan mereka berakhir dengan pelukan. Tapi kenyataannya, mereka berakhir dengan jurang. Bahkan saat maut memisahkan mereka, perdamaian itu tidak pernah ada.
Aku tidak bisa memaksa ayahku membuka hati. Aku tahu, maaf pernah dicoba, tapi tidak membawa perubahan. Dan akhirnya, ia memilih menutup pintu selamanya. Sebagai anak, aku ingin ada jalan damai. Aku ingin ada ruang maaf yang tumbuh. Tapi aku tahu, ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Ayahku sudah memilih jalannya, dan itu adalah jalan yang ia yakini benar.
Kadang aku bertanya, apakah suatu hari nanti aku juga akan sekeras itu pada saudaraku sendiri? Aku takut. Aku tidak ingin mewarisi dendam yang begitu pekat. Aku ingin belajar, meski dari kisah pahit, bagaimana cara mengelola luka.
Untuk itulah tulisan ini bukan penghakiman. Bukan pula upaya meluruskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini hanyalah catatan tentang betapa rapuhnya persaudaraan jika kepercayaan dirusak. Juga agar generasi setelahku tahu, kalau Oppungnya pernah bergumul dengan luka yang tidak bisa disembuhkan waktu. Bahwa persaudaraan bisa patah, dan patahnya tidak selalu bisa disambung kembali.
Di penghujung catatan ini, aku hanya bisa menunduk. Mengingat wajah ayahku yang tegas, suaranya yang keras, hatinya yang penuh bara. Dan di sisi lain, ada ruang hampa yang ditinggalkan oleh sosok yang pernah dipanggilnya abang. Aku tidak tahu apakah waktu akan mampu menghapus semua jejak. Tapi aku tahu, catatan ini akan tetap ada. Seperti hujan yang jatuh tanpa bisa diminta, seperti daun yang gugur tanpa alasan, begitulah kisah ini singgah di dalam keluarga kami.
Poltak pendongeng miskin yang tak berwawasan
Komentar
Posting Komentar