Dari Dupa di Makam, Dawet di Pasar: Riska, Ibu Nunung, dan Aku yang Tertinggal di Pusara [Karanganyar Tak Pernah Menjawab, Tapi Ibu di Kursi Sebelah Membuka jalanku Pulang]
Di Antara Pusara dan Pasar, Antara Kereta dan Doa Ini bukanlah catatan sejarah. Bukan pula ziarah politik, apalagi laporan perjalanan. Bagiku Ini upaya diam-diam untuk menjahit luka yang tak pernah benar-benar sembuh, antara nama besar yang disingkirkan dan suara ibu yang tak henti memanggil pulang. Di dalam kereta menuju Solo, yang kuharapkan bukan sekadar tiba di stasiun, tapi mungkin, bertemu dengan seseorang yang bisa memberiku arah. Entah itu seorang oppung yang dikuburkan dalam sunyi sejarah, atau seorang ibu yang duduk di kursi sebelah menyampaikan nasihat yang terdengar seperti restu. Cerita ini adalah catatan patah dari perjalanan kecil yang tak diminta untuk disebut penting, tapi bagiku, ia adalah cara satu-satunya untuk pulang. Pulang pada sejarah yang ditinggalkan. Pulang pada Ibu. Pulang pada diri sendiri. M alam itu, 22 Juli, lewat sedikit dari pukul delapan malam, aku mengirim pesan pada Riska, adikku tondi tondi ni abg. Hanya dengan satu kalimat pembuka, “Kon...