Postingan

Warisan Dendam Oppung Windy Doli

Aku menulis ini seperti seorang yang sedang membuka lembar catatan lama. Setiap huruf adalah pintu kecil menuju kenangan yang tidak selalu ingin aku datangi, namun di situlah aku menemukan wajah ayahku yang keras, juga luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Di keluarga kami pernah ada pertengkaran yang begitu panjang, begitu melelahkan, sehingga maut pun tidak mampu mendamaikannya. Aku menulis sebagai anak, yang hanya bisa menyaksikan dari jauh bagaimana seorang ayah dan abangnya saling berpaling. Aku tumbuh dengan perasaan ganjil setiap kali mendengar nama Mula Harapan disebut. Abangkandung ayahku itu bukan sekadar sosok Bapatua diujung marga. Dia adalah bayangan masa lalu, cerita yang selalu hadir dengan nada berat di bibir ayahku. Aku mendengar kisahnya sejak kecil, kadang dengan amarah, kadang dengan diam. Sejak kecil aku mendengar nama itu. Bagiku ia bukan hanya seorang bapatua, juga sebagai bayangan yang jarang hadir dengan ramah. Kisah-kisah yang kuterima lebih banyak tentan...

Mimpi: Terikat pada senyap, Berputar di antara kemungkinan

Saya kerap merasa kisah yang datang lewat mimpi bukanlah sekadar mimpi. Ia hadir tanpa alasan, membawa suasana yang sukar saya letakkan dalam bahasa. Bak sebuah catatan yang diselipkan begitu saja, tanpa pengantar dan tanpa penutup, namun menyisakan jejak yang sulit saya hapus. Dalam mimpi itu saya berada di sebuah desa yang asing sekaligus akrab, rumah-rumah sederhana berdiri di lereng pegunungan, udara tipis menyentuh kulit, dan wajah-wajah yang seakan mengenal saya, padahal saya tidak tahu siapa mereka. Ketika terbangun, bayangan itu tidak hilang. Ia menempel pada kesadaran, membuat saya terus bertanya apakah ada sesuatu yang sedang memanggil saya pulang. Kata “ pulang ” itu sendiri menggantung, tidak menunjuk ke tempat tertentu, tidak mengarah ke masa lalu atau masa depan, hanya berdiri sebagai tanda yang mengusik.  Saya tidak tahu dari mana kisah ini bermula, seolah ia tumbuh begitu saja di antara retakan waktu yang tak bisa saya jamah. Yang tersisa hanyalah perasaan seperti m...

Mamakku dan Tintin Bolah Rotannya

Setiap keluarga pasti ada menyimpan kisah yang tak pernah dicatat dalam buku sejarah, mungkin diwariskan dalam bisik-bisik, dalam obrolan di meja makan, atau dalam ingatan yang tak lekang oleh waktu. Kisah cinta ibu dan bapak saya adalah salah satunya, sebuah cerita tentang janji yang terikat pada seutas cincin, tentang hati yang patah, tentang keberanian untuk memilih, dan tentang restu yang akhirnya memenangkan cinta.  Tidak ada yang lebih getir daripada cinta yang dikhianati janji, dan tidak ada yang lebih indah daripada cinta yang berani diperjuangkan. Kisah ini adalah tentang keduanya, tentang seorang pemuda bermarga Purba yang harus menelan kepedihan, tentang sebuah cincin yang kembali tanpa makna, dan tentang seorang ayah yang datang dari jauh untuk membuktikan ketulusan hatinya. Dari luka, lahirlah restu. Dari perpisahan, lahirlah keluarga.  Jadi beginilah kisahnya ku tuliskan, itu bukan hanya tentang cinta ibu dan bapak saya, tetapi juga tentang bagaimana aku bisa ada...

Anggi boru Payung Part TERAKHIR : Tamat

Beginilah catatan dari seorang yang kalah, kalah melawan waktu, kalah mempertahankan cinta, dan hampir kalah melawan dirinya sendiri. Saat hari-hari ketika aku merasa hidup ini bukan lagi sesuatu yang mesti diperjuangkan dengan gairah, hanya sekadar dijalani dengan tenaga yang tersisa, aku bagaikan seorang pengembara yang kehilangan arah di tengah padang tandus, berjalan hanya karena kaki masih bisa melangkah, tanpa tahu kemana tujuan akhirnya. Tulisan ini bukan untuk mencari simpati dari siapa pun, bukan pula untuk menegakkan kepalaku di hadapan dunia dan berkata bahwa aku tabah, sebab kenyataannya tidak demikian. Aku menulis semata-mata agar aku sendiri tidak lenyap ditelan sunyi yang setiap malam datang dan mencengkeram dadaku, agar aku masih bisa mendengar suaraku sendiri di tengah riuh dunia yang terasa semakin jauh. Karena jika aku berhenti menulis, jika aku berhenti menumpahkan segala yang menyesakkan di dada ke dalam kata-kata, barangkali aku benar-benar sudah mati jauh sebelum...

Dari Dupa di Makam, Dawet di Pasar: Riska, Ibu Nunung, dan Aku yang Tertinggal di Pusara [Karanganyar Tak Pernah Menjawab, Tapi Ibu di Kursi Sebelah Membuka jalanku Pulang]

Di Antara Pusara dan Pasar, Antara Kereta dan Doa Ini bukanlah catatan sejarah. Bukan pula ziarah politik, apalagi laporan perjalanan. Bagiku Ini upaya diam-diam untuk menjahit luka yang tak pernah benar-benar sembuh, antara nama besar yang disingkirkan dan suara ibu yang tak henti memanggil pulang.  Di dalam kereta menuju Solo, yang kuharapkan bukan sekadar tiba di stasiun, tapi mungkin, bertemu dengan seseorang yang bisa memberiku arah. Entah itu seorang oppung yang dikuburkan dalam sunyi sejarah, atau seorang ibu yang duduk di kursi sebelah menyampaikan nasihat yang terdengar seperti restu. Cerita ini adalah catatan patah dari perjalanan kecil yang tak diminta untuk disebut penting, tapi bagiku, ia adalah cara satu-satunya untuk pulang. Pulang pada sejarah yang ditinggalkan. Pulang pada Ibu. Pulang pada diri sendiri. M alam itu, 22 Juli, lewat sedikit dari pukul delapan malam, aku mengirim pesan pada Riska, adikku tondi tondi ni abg. Hanya dengan satu kalimat pembuka,  “Kon...

Aglean, Kak Yuni, Cici F, Hertati boruku, Ongke, Pak Artha, Brigitta, dan Bang Andiko: Saksi Diam dari Luka² yang Kutulis

Kalau dirimang-rimangi, memang ada banyak hal yang tak pernah bisa kita peluk hanya dengan tangan, tapi barangkali kita mampu rasakan hingga jauh ke dasar dada. Salah satunya adalah... KEHADIRAN . Tulisan-tulisan yang kutorehkan di binder ini lahir bukan dari keindahan, dia lahir dari luka yang tak bisa ditidurkan. Aku tidak bermaksud ingin mengajari siapa pun, hanya karena aku takut meledak oleh kesunyian yang terlalu lama meng-karat. Namun siapa sangka, di balik layar dan sunyi internet, ada orang-orang yang membaca. Singgah, bukan sekadar lewat. Bukan sekadar menatap, tapi menyimak dengan hati.  Tulisan ini penghormatan kecil bagi mereka para sahabat tak bernama yang diam-diam menjadi rumah bagi kata-kataku yang rapuh. Mereka, yang tak pernah lewat tanpa membaca. Maka inilah tulisanku untuk kalian. Ini bukan sebagai penutup dari semua cerita, cuma sebagai tanda, bahwa aku melihatmu, aku mengingatmu, dan aku menulis ini untukmu. “ Aglean, Kak Yuni, Cici Franika, Hertati Boruku, O...

Si Tulang Freeport: “Datang Tanpa Oleh-Oleh, Pergi Tanpa Kenang-Kenangan”

Si Tulang Freeport: “Datang Tanpa Oleh-Oleh, Pergi Tanpa Kenang-Kenangan” (Catatan singkat dari pertemuan yang terburu-buru, oleh Poltak si pendongeng miskin) “Horas...!!!” Begitulah aku membuka pintu rumah tua di perempatan jalan itu. Sejenak kulihat bangunan itu tampak rapuh di mataku, tapi di dalamnya tersimpan ribuan kenangan yang tak lapuk oleh waktu. “ Bahh, na ro do lae!” seru seseorang dari dalam. Itu suara Lae Amani El Tamba, yang masih saja berseloroh seperti dulu. Tak lama, anak-anak berlarian menyalamiku, tangan kecil mereka menggenggam erat tanganku. Ada dua puluhan jumlahnya cucu-cucu dari namboru kami, Op Prando boru, yang telah pergi setahun lalu. Aku datang terlambat, bahkan untuk sekadar melihat wajahnya yang terakhir. Di dapur, tanpa banyak kata, Ito Nai Paima sudah menyeduh kopi hitam untukku. Ia istri dari Lae Riwal, si bungsu di rumah itu, yang baru saja menikah tiga hari lalu. Aku pun tak sempat hadir di hari bahagia mereka. “Selamat berbahagia da ito,” ucapku...

Langkah Sunyi Seekor Petarung

Sementara langit sore melukis dirinya di atas atap biara Murti ini, aku masih duduk sendiri di ujung kasur tua yang lusuh, masih mendengar suara angin merambat pelan, seperti bisikan ibu yang menyuruhku pulang, lembut dan penuh desakan. Aku tak menjawab. Bukan karena aku tak ingin pulang, bukan karena hatiku telah dingin oleh kota, hanya karena ada sesuatu yang belum selesai dalam diriku sendiri. Dan aku tak ingin pulang dengan hati yang masih compang-camping. Sejak dinyatakan lulus dari Undip, dari kota perjuangan yang telah menyeka peluh dan air mata, aku menetap di sudut kota ini. Bukan kota besar. Tapi cukup sepi untuk membuatku mengenal kembali suara nafasku sendiri. Di ruang biara ini, hari-hari berganti tanpa kejutan. Pagi datang seperti biasa, membawa matahari yang sayu. Dan malam datang pelan-pelan, seperti kenangan yang tak pernah hilang. Orangtuaku, dari kampung jauh di tanah yang subur, terus bertanya, “Kapan kau pulang, Nak? Di sana apa yang kau cari?” Aku hanya tersenyum ...

Anggii boru payung Part III: Sejauh Jalan Menuju Lupa

Sore itu, jalan raya tidak begitu padat. Langit mendung seolah menimbang apakah perlu menangis atau cukup mendung saja. Di tengah perjalanan menuju Nasmoco, handphone-ku bergetar pelan, mengusik diam yang sejak tadi kutumpangi. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari adikku di Sumatra.  Gambar tangkapan layar. Anggi.  Ia duduk bersama seorang pria, tersenyum. Senyum pria itu teduh. Tampak seperti seseorang yang sudah lama mengenal damai, atau setidaknya bisa membuat seseorang percaya bahwa damai itu mungkin. Mungkin, dialah lelaki yang kini menggenggam tangan Anggi, yang dulu sempat kugenggam namun terlepas karena sebab yang bahkan hingga kini tak seluruhnya kupahami. Adikku, dengan gaya khasnya yang setengah menggoda dan setengah menyindir, menulis, “Bangg... lihat ini haa. Dia aja udah dapat penggantimu. Kau kok lalap kek gitu-gitu aja?” Disertai emot ketawa. Kubalas dengan pendek, “Wahh, puji Tuhan. Turut mendoakan yang terbaik.” Tapi sebenarnya, siapa yang benar-benar tulus saat ...

Catatan Kuda Liar #2: “Pesan Cinta dari sudut Parkiran Biara Murti ”

 AKU DAN KUDA LIAR #2: “Pesan Cinta dari sudut Parkiran Biara Murti” Oleh Poltak, si pendongeng miskin yang tak berwawasan Sudah hampir sebulan, kuda liarku terdiam di sudut parkiran Biara Murti ini. Ia tidak lagi meringkik di pagi hari, tidak lagi menggelitik telingaku dengan dengungan tuanya yang khas, tak lagi membawaku menjelajahi kota dengan angin yang mengusap pelipis dan kenangan yang jatuh satu-satu dari langit malam. Dan setiap aku membuka pintu kamar kecilku, entah mengapa, selalu kutemui dia di sana. Diam. Lusuh. Tapi penuh makna. Seperti patung kenangan yang tak meminta untuk dikenang, namun hadir tanpa perlu diundang. Dia ada, bukan hanya sebagai benda, tapi sebagai tubuh yang dahulu pernah bersamaku menanggung beban. Seperti tubuh yang mengerti luka, tapi tak pernah mengeluh. Aku menyebutnya kuda liar bukan pula karena dia buas, cuma karena dia bebas. Bebas dari gengsi, bebas dari aturan kesempurnaan. Dia tak muda lagi, dan aku pun demikian. Mungkin itu sebabnya kami ...

Tepat Waktu untuk Jiwa yang Tertunda

Di suatu malam yang sepi, di mana jam berdetak pelan seperti kenangan yang enggan pergi, aku duduk mendengarkan diriku sendiri. Dan suara itu, lirih, rapuh, namun jujur, bertanya, “Apa makna menikah ketika aku belum mengenal sepenuhnya siapa diriku?” Aku telah sampai di usia dua puluh delapan tahun. Dalam catatan kalender banyak orang, ini adalah usia matang. Matang seperti buah yang sudah waktunya dipetik. Orangtuaku, saudara-saudaraku, bahkan sanak jauh yang jarang bertegur sapa, tiba-tiba menjadi nabi-nabi kecil yang satu suara berkata, “Menikahlah! Mangoli Ma Ho!” Namun tidak ada seorang pun yang bertanya, “Bagaimana hatimu?” Aku bukan pengecut yang lari dari tanggung jawab. Aku juga bukan gunung batu yang menolak cinta. Aku hanyalah seorang manusia yang sedang belajar, perlahan-lahan, untuk tidak menghianati diri sendiri. Bukankah menikah seharusnya bukan tentang menjawab ketakutan orangtua akan masa depan anaknya? Bukan tentang menjadi simbol keberhasilan keluarga? Bukan pula pel...

Empati yang diharamkan, [Membunuh Rasa]| Menguliti Kekosongan Stoik

Empati yang diharamkan, [Membunuh Rasa]| Menguliti Kekosongan Stoik Di atas sebuah kapal kayu tua yang berderak pelan menyusuri perairan Danau Toba, dari Tigaras menuju Simanindo, aku duduk diam. Langit seperti terselip dalam genangan air raksasa itu. Tenang. Datar. Sunyi. Angin menyentuh wajahku seperti tangan seorang ibu yang sedang meninabobokan kesedihan. Tapi justru di saat seperti inilah, aku melihat ketabahan yang tak utuh, dan kekosongan yang menyaru sebagai kebijaksanaan. Aku duduk di bangku kayu, sedikit menjauh dari keramaian, dan memandangi air danau yang tak berkedip. Diam. Datar. Seolah ingin membuktikan pada dunia bahwa semua bisa dihadapi dengan tenang, jika kita cukup tabah. Tapi betulkah ketenangan selalu berarti kebijaksanaan? Di antara deretan bangku penumpang, para pedagang kecil berkeliling, menawarkan jeruk, minuman dingin, dan potong-potong kue kampung dalam plastik yang mulai kusam. Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena terlalu sering ditolak. Terla...